Rabu, 26 Maret 2025

Ekonomi Lesu di Ramadan 2025, Pakar Minta Pemerintah segera Cari Solusi

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Fathur Huda Dosen Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya. Foto: UM Surabaya

Fathur Huda Dosen Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya mengatakan, situasi penurunan daya beli masyarakat pada momen Ramadan 2025 menunjukkan perekonomian Indonesia masih belum stabil.

Rilis Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi Februari 2025 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Indonesia mengalami deflasi selama dua bulan berturut-turut, dengan tingkat deflasi bulanan (month-to-month) sebesar -0,48 persen dan deflasi tahunan (year-on-year) sebesar -0,09 persen.

Dari data tersebut, komoditas yang paling banyak berkontribusi pada deflasi yaitu tarif listrik, beras, daging ayam ras, bawang merah, tomat, dan cabai merah.

“BPS Mencatat kondisi ini menjadi deflasi tahunan pertama dalam 25 tahun terakhir. Hal itu menunjukkan adanya penurunan konsumsi masyarakat secara signifikan, yang biasanya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Bulan Ramadan,” katanya, Senin (24/3/2025).

Kondisi tersebut, kata dia, juga diperkuat oleh tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), sepanjang tahun 2024, sebanyak 77.965 tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dengan tambahan 3.325 orang terdampak PHK pada Januari 2025.

Bahkan, PHK massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) per 1 Maret 2025 menyebabkan lebih dari 10.000 karyawan kehilangan sumber pendapatan mereka.

“Kondisi tersebut tentu memberikan pengaruh terhadap meningkatnya angka pengangguran, sehingga masyarakat merasa cemas, dengan terpaksa akan semakin banyak mengurangi konsumsi dan hanya akan berfokus pada kebutuhan pokok,” ucapnya.

Fathur melanjutkan, konsumsi rumah tangga memainkan peran kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika konsumsi melemah, maka permintaan agregat menurun, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Kemudian, dia mengajak masyarakat untuk melihat data dari Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan penurunan signifikan pada sektor belanja non-esensial, dengan porsi belanja hiburan, olahraga, dan rekreasi turun dari 7,7 persen, menjadi 6,5 persen. Sementara belanja supermarket meningkat ke 15,9 persen mengindikasikan peralihan ke kebutuhan dasar.

“Fenomena itu, dikenal sebagai precautionary saving, di mana masyarakat lebih memilih menyimpan uang sebagai bentuk antisipasi ketidakpastian ekonomi di masa depan yang kemudian berdampak pada pola konsumsi,” ucapnya.

Dengan kondisi tersebut, pihaknya menenkankan pemerintah harus punya andil untuk meningkatkan daya beli masyarakat, mengingat konsumsi sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Dia menegaskan, perlu langkah-langkah konkret untuk mendorong daya beli masyarakat. Misal, dengan pemberian insentif fiskal bagi dunia usaha untuk menghindari PHK lebih lanjut, memberikan bantuan sosial bagi kelompok ekonomi rentan, serta kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor ritel dan UMKM.

“Tanpa langkah-langkah ini, risiko stagnasi ekonomi akan semakin besar yang kemudian dapat memperburuk kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang,” pungkasnya.(ris/bil/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Belakang Suroboyo Bus

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Surabaya
Rabu, 26 Maret 2025
33o
Kurs