![](https://www.suarasurabaya.net/wp-content/uploads/2025/02/Panti-Ilegal-170x110.jpeg)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya meminta pemerintah kota (pemkot) melakukan tracing terhadap Kartu Keluarga (KK) yang berisi belasan hingga puluhan orang dengan status non-famili.
Hal itu untuk mencegah terulangnya kasus pemilik panti ilegal yang ternyata melakukan pelecehan seksual kepada para anak asuhnya.
Imam Syafi’i Anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya yang membidangi kesejahteraan rakyat menyebut, pemkot punya wewenang untuk mengakses administrasi kependudukan (adminduk) setiap warga.
“Banyak perangkat, aturan, UU, Perda, Perwali yang justru memperbolehkan (pemkot) mengakses terutama peraturan tentang adminduk. Jadi siapa pun yang tinggal di wilayah Surabaya, itu harus bisa diketahui identitasnya,” paparnya usai rapat dengar pendapat soal kasus pelecehan seksual pemilik panti ilegal, Kamis (6/2/2025).
Menurutnya aksi NK (61 tahun) pemilik panti ilegal di Gubeng yang akhirnya ditetapkan polisi sebagai tersangka pelecehan seksual, harusnya patut dicurigai karena memiliki Kartu Keluarga (KK) dengan 14 anak bertuliskan famili lain.
“Agak aneh ada belasan orang dalam satu KK. Dijelaskan ternyata masuk KK karena (sebelumnya ada) penetapan pengadilan untuk dimasukkan KK,” katanya lagi.
Ia minta pemkot lebih ketat melakukan pengawasan tempat-tempat bahkan rumah yang menampung banyak orang terutama anak-anak untuk mencegah peristiwa serupa. “Sehingga yang terjadi bisa diketahui,” imbuhnya lagi.
Cara lain, semua tempat pengasuhan alternatif, panti, asrama, harus ditempeli hotline khusus pengaduan bagi korban kekerasan termasuk anak.
“Ilegal atau enggak, biar kalau ada apa-apa, persoalan bisa telepon di hotline itu yang harus eksklusif tidak dicampur dengan hotline lain karena aduannya harus dirahasiakan,” tuturnya.
Sementara Eko Kurniawan Purnomo Camat Gubeng mengaku akan meminta RT/RW hingga Kader Surabaya Hebat (KSH) untuk lebih ketat mengawasi status penghuni setiap rumah warganya.
“Ya di semua kelurahan kita minta kembali ke RT/RW untuk mencermati,” kata Eko.
Menurutnya, aksi NK yang menampung belasan anak di bawah umur berkedok panti tidak berizin itu, tidak terlihat. Normal seperti rumah biasa.
“Posisi di sana tertutup sekali, enggak semuanya anak (tinggal) di sana, keluar masuk karena sekolah, ada yang di Surabaya dan di luar Surabaya. Jadi tidak terlihat seperti panti asuhan. Rumah biasa saja,” bebernya.
Sementara KK yang berizi belasan anak itu menurutnya secara aturan boleh, sepanjang pemiliknya bersedia. Dan Pemkot tidak punya wewenang untuk melarang.
“Kan enggak boleh kita terus menghilangkan orang di situ. Di tempat lain juga banyak (yang melakukan) titip alamat, kita enggak bisa terus mengeluarkan (penghuni yang bukan keluarga) dari situ,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, aksi NK terbongkar, setelah sejumlah anak kabur dari panti asuhan tersebut dan mengadu kepada pelapor yang kemudian diadvokasi oleh pihak Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. (lta/bil/ham)