Minggu, 5 Januari 2025

Badan Anggaran DPR Minta Pemerintah Siapkan Mitigasi Tantangan 2025

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Said Abdullah Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Foto: Antara

Said Abdullah Ketua Badan Anggaran DPR RI meminta pemerintah menyiapkan upaya mitigasi tantangan ekonomi tahun 2025.

Dia mengamini berbagai proyeksi ekonomi Indonesia tahun ini tak jauh berbeda dengan yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Contohnya, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 sebesar 5,1 persen, sementara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mematok angka 5,2 persen. Kedua angka itu tak jauh dari target APBN 2025 sebesar 5,2 persen.

Di sisi lain, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi nilai tukar rupiah tahun 2025 sebesar Rp16.100 per dolar AS, sedangkan APBN mematok level Rp16.000 per dolar AS.

“Dari seluruh proyeksi lembaga kredibel terhadap ekonomi makro kita di tahun 2025, tampak tidak berbeda jauh dengan target target APBN 2025. Namun kita tidak boleh terlena atas angka angka proyeksi tersebut. Sebab proyeksi bisa saja berubah bila dinamika ekonomi nasional dan global berubah drastis,” ujar Said di Jakarta, Kamis (2/1/2025) dilansir Antara.

Dia menyoroti, setidaknya ada empat tantangan utama bagi perekonomian Indonesia tahun ini. Pertama, risiko perang tarif antara China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Jika perang tarif ini makin menajam, Indonesia berisiko terkena spillover effect.

Negatifnya, ketidakpastian bisnis global makin tinggi, biaya ekspor bisa berpotensi makin tinggi. Namun, bila Indonesia bisa menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka peluang ekspor Indonesia akan besar.

“Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi ini sebagai peluang emas ke depan,” katanya.

Perang tarif juga bisa berdampak terhadap depresiasi rupiah. Belajar dari pengalaman 2018, banyak pelaku pasar yang menyalakan tombol ‘risk on’, atau lebih mengandalkan dolar AS daripada mata uang lainnya.

Bila efek penguatan dolar AS berlangsung lama akibat perang tarif yang berkepanjangan, Indonesia perlu memanfaatkan diplomasi perdagangan internasional untuk membuat tata perdagangan dunia lebih adil.

“Setidaknya tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia. Sedangkan di dalam negeri BI, OJK dan pemerintah perlu mengatur lebih ketat lagi atas devisa hasil ekspor untuk kepentingan nasional,” jelasnya.

China pun, sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, menunjukkan pelemahan. Said mendorong pemerintah untuk mencari alternatif sebagai pengganti ekspor ke China yang menurun.

Tantangan kedua yaitu menurunnya kelas menengah dan konsumsi rumah tangga. Menurut Said, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa menjadi salah satu solusi, lantaran program ini mendorong peningkatan gizi anak sekaligus menggerakkan ekonomi UMKM sehingga memberikan dampak ganda ekonomi.

“Sektor UMKM akan menyerap produk produk petani dan peternak. Apalagi sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia,” tambah dia.

Tantangan ketiga adalah indikasi deindustrialisasi. Kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB menyusut dari 21,28 persen pada 2014 menjadi 18,67 persen pada 2023.

Namun, Said berpendapat peluang industri manufaktur Indonesia memiliki peluang besar kendati angka statistik menunjukkan penurunan.

Pemerintah bisa mendorong perluasan program hilirisasi yang saat ini masih terbatas di sektor nikel. Bila hilirisasi bisa diperluas ke bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok global, dia meyakini risiko deindustrialisasi bisa dicegah, sekaligus mendorong pertumbuhan kelas menengah yang berpeluang menopang kebutuhan industri.

Tantangan terakhir terkait dengan investasi. Menurut dia, pembangunan infrastruktur yang masif dilakukan selama 10 tahun terakhir serta kehadiran UU Cipta Kerja dapat berdampak positif terhadap Incremental Output Rasio (ICOR). Namun dua tahun berturut turut ICOR Indonesia tertahan di angka 6, dan tertinggi dibandingkan negara sebaya.

Bila dikaitkan dengan laporan The Economist, tingginya ICOR Indonesia mengindikasikan masih tingginya praktik korupsi dan problem struktural, seperti tidak efisiennya birokrasi.

Maka, pemerintah perlu membereskan persoalan korupsi serta memberikan pesan yang jelas kepada investor dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun ke depan.

“Dengan ICOR yang rendah maka produk ekspor Indonesia bisa berdaya saing di pasar global. Menurunnya tingkat korupsi juga menguatkan kepercayaan kepada pemerintah,” tuturnya. (ant/bil/ham)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Truk Tabrak Rumah di Palemwatu Menganti Gresik

Surabaya
Minggu, 5 Januari 2025
25o
Kurs