Kasus stunting di Kota Surabaya per 11 November 2024 tinggal 205 anak. Terkait hal ini, Restu Novi Widiani Penjabat Sementara (Pjs) Wali Kota Surabaya meminta para pejabat segera mengintervensi anak-anak yang terindikasi pra stunting.
Permintaan itu dibahas dalam rapat evaluasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) untuk mencapai komitmen pemkot menuju zero stunting di Graha Sawunggaling, Kamis (14/11/2024).
Dalam evaluasi itu, terungkap prevalensi angka stunting turun berturut-turut mulai 2021 28,9 persen, 2022 4,8 persen, 2023 hingga saat ini 1,6 persen.
Tapi, Restu Novi meminta seluruh anggota TPPS agar tetap waspada terhadap pra stunting. Mereka harus didampingi untuk sehat kembali dan tidak stunting.
Setiap kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), camat, lurah serta kepala Pussat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) harus memantau kondisi anak-anak di lembaga kesejahteraan sosial wilayahnya.
“Sekalipun terendah (angka prevalensinya) untuk kota sebesar Surabaya tidak boleh lengah. Ada pra stunting, ini bisa menjadi ancaman menambah angka stunting. Selain itu, perlu adanya perhatian khusus pada anak-anak yang berada di lembaga kesejahteraan sosial, baik itu milik pemerintah atau pun swasta. Gizi mereka juga harus tercukupi untuk menghindari stunting,” jelasnya.
Sementara Ida Widayati Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) membenarkan kalau kasus stunting di Surabaya tinggal 205 anak.
“Hingga 11 November 2024 tersisa 205 anak stunting di Kota Surabaya. Rinciannya, 188 anak merupakan warga Surabaya dan 17 lainnya adalah orang luar kota yang tinggal di Surabaya. Semuanya sudah diberikan intervensi dan pendampingan oleh Pemkot Surabaya,” ungkapnya.
Intervensi kepada sasaran penurunan stunting terrekam dalam Aplikasi Sayang Warga (ASW), termasuk hasil pendampingan juga di gambarkan secara spesifik oleh Tim Pendampingan Keluarga (TPK). “Semua intervensi positif dilakukan secara pentahelix dan terintegrasi,” tutupnya. (lta/bil/ham)