Prabowo Subianto Presiden memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka pada 13 Desember 2024 lalu.
Rapat itu membahas sejumlah isu termasuk pemberian amnesti kepada narapidana tertentu, yang dilakukan atas dasar kemanusiaan, mengurangi kelebihan kapasitas lapas, dan untuk mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah.
Terkait hal ini, Supratman Andi Agtas Menteri Hukum menjelaskan, pemberian amnesti mencakup beberapa kategori narapidana. Saat ini Kementerian Hukum juga sedang melakukan asesmen dengan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Menurut Supratman, kasus penghinaan kepala negara melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi salah satu prioritas dalam pemberian amnesti.
Menyikapi hal ini, Peter Jeremiah Setiawan pakar hukum dari Universitas Surabaya (Ubaya) mengatakan, pemberian amnesti ini perlu dikaji secara mendalam.
Ia memandang bahwa aturan hukum mengenai amnesti masih perlu diperjelas. Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 yang mengatur tentang amnesti dianggap terlalu umum.
Selain itu juga tidak memberikan kriteria yang jelas mengenai jenis tindak pidana yang dapat diberikan amnesti. Padahal, amnesti berbeda dengan remisi yang diberikan berdasarkan perilaku baik narapidana.
“Ini yang harus hati-hati. Sebab tidak ada peraturan rincinya. Undang-Undang Dasar bilang hanya atas kepentingan negara. Di Undang-Undang Darurat juga tidak ada kriteria rinci untuk memberikan amnesti,” katanya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (17/12/2024)
Selain itu, Peter menambahkan bahwa pemberian amnesti harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan itu sendiri. Pemidanaan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan memperbaiki perilaku pelaku tindak pidana.
Oleh karena itu, perlu ada jaminan bahwa narapidana yang diberikan amnesti tidak akan kembali melakukan tindak pidana.
Ia juga menyinggung masalah kondisi lapas yang overkapasitas menjadi salah satu alasan pemberian amnesti. Namun, Peter mengingatkan tidak semua narapidana layak mendapatkan amnesti.
Narapidana dengan penyakit kronis, gangguan jiwa, atau yang telah menunjukkan perubahan perilaku positif bisa menjadi pertimbangan.
Ia juga berharap proses pemberian amnesti harus transparan dan melibatkan masyarakat. Masyarakat perlu mengetahui siapa saja yang mendapatkan amnesti dan alasannya.
Hal ini penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa amnesti diberikan kepada orang yang tepat. “Karena (amnesti) ini kepentingan negara, maka tujuannya harus untuk negara,” tegasnya. (saf/ham)