Jumat, 22 November 2024

Tekanan Internasional Meningkat untuk Setujui Gencatan Senjata di Gaza

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Warga Palestina mengantre untuk mendapatkan bantuan makanan di kota Rafah di Jalur Gaza selatan, 9 Februari 2024. Foto: Xinhua Warga Palestina mengantre untuk mendapatkan bantuan makanan di kota Rafah di Jalur Gaza selatan, 9 Februari 2024. Foto: Xinhua

Israel menghadapi seruan yang kian meningkat untuk menyetujui gencatan senjata di Jalur Gaza, setelah konflik mematikan mereka dengan kelompok perlawanan Hamas yang berlangsung lebih dari empat bulan itu merenggut puluhan ribu nyawa warga Palestina, hingga Rabu (14/2/2024) kemarin.

Melansir Antara Kamis (15/2/2024), seruan tersebut muncul ketika Israel mengindikasikan akan meluncurkan operasi darat di Rafah, kota paling selatan Gaza.

Di Rafah sendiri, ada sekitar 1,4 juta warga Palestina yang mengungsi mencari perlindungan dari bombardir tanpa henti oleh Israel di wilayah-wilayah lain kantong pesisir itu.

Emmanuel Macron Presiden Prancis telah berbicara dengan Benjamin Netanyahu Perdana Menteri Israel melalui telepon pada Rabu, dan mengatakan bahwa Prancis menentang serangan Israel di Rafah.

Menurut keterangan yang dirilis Istana Elysee, Macron mengatakan bahwa serangan seperti itu hanya akan menyebabkan bencana kemanusiaan dengan skala yang lebih besar. Hal tersebut akan menjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional dan akan menimbulkan risiko tambahan terhadap eskalasi regional.

Membantah adanya tekanan yang terus meningkat, Netanyahu mengatakan kepada Macron bahwa Israel akan bertempur hingga meraih kemenangan total dan itu termasuk operasi besar-besaran di Rafah.

Dia mengatakan bahwa para tentara akan mengizinkan warga sipil untuk melarikan diri dari kota tersebut sebelum melancarkan serangan

Annalena Baerbock Menteri Luar Negeri Jerman, yang sedang melakukan kunjungan ke Israel, juga mengatakan dalam sebuah unggahan di media sosial X pada, Sabtu (10/2/2024), bahwa penderitaan di Rafah sudah tidak dapat dibayangkan dan serangan militer akan menjadi bencana kemanusiaan.

“Orang-orang yang mencari perlindungan di Rafah tidak bisa menghilang dalam sekejap,” tulis Baerbock dalam unggahan tersebut.

Begitu juga pertemuan para negosiator Qatar, Mesir, Amerika Serikat, dan Israel di Kairo pada, Selasa (13/2/2024), berakhir tanpa adanya hasil, meskipun laporan-laporan media mengindikasikan bahwa pembicaraan tersebut berlangsung dalam suasana yang konstruktif.

Media milik pemerintah Israel, melaporkan bahwa Mesir memutuskan untuk memperpanjang perundingan selama tiga hari tambahan guna menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Namun, Netanyahu tidak menyetujui kembalinya David Barnea Kepala Mossad, yang menghadiri pembicaraan di Kairo itu.

Netanyahu menyepelekan pentingnya kesepakatan untuk membebaskan para sandera, dengan menekankan bahwa kunci untuk membebaskan para sandera yang tersisa yakni melalui tekanan militer yang kuat dan negosiasi yang tegas.

Menurut sebuah pernyataan dari Militer Israel, sepanjang Selasa malam hingga Rabu dini hari waktu setempat, tentara Israel membombardir daerah-daerah di Rafah dan Khan Younis, kota terbesar di Gaza selatan.

Hamas, kelompok bersenjata Palestina yang menguasai Gaza, menuntut diakhirinya perang dengan imbalan pembebasan para sandera. Sementara Israel hanya menyetujui gencatan senjata dengan batas waktu tertentu.

Kedua belah pihak bersedia untuk menyertakan pembebasan tahanan Palestina dalam kesepakatan tersebut, tetapi ada juga ketidaksepakatan terkait jumlah tahanan yang akan dibebaskan.

Menurut kementerian kesehatan yang berbasis di Gaza, serangan militer yang dilancarkan oleh Israel sebagai balasan atas serangan Hamas telah menewaskan 28.576 warga Palestina di Gaza dan melukai 68.291 orang lainnya.

Sementara itu, menurut data resmi Israel, sekitar 1.200 warganya tewas akibat serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. (ant/azw/bil/faz)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs