Stok beras di Jawa Timur (Jatim) diklaim dalam posisi aman menjelang Bulan Ramadan dan momen Lebaran Idulfitri. Ermin Tora Kepala Bulog Kanwil Jatim menyebut stok beras saat ini mencapai 150 ribu ton.
“Kita kuasai ada 150 ribu ton dan masih akan nambah dalam waktu dekat sekitar 100 ribu ton dan akan tambah terus,” ujar Ermin ditemui di kantornya, Kamis (22/2/2024).
Meski menyebut stok beras aman, Ermin tidak menampik bila harga kebutuhan pokok itu masih tinggi. Pihaknya pun mulai berupaya menstabilkan harga beras setelah gelaran Pemilu 2024.
Strategi yang diterapkan Bulog Jatim adalah memperluas titik pelayanan untuk menyalurkan beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) di sejumlah pasar tradisional di kabupaten/kota se-Jatim.
“Kita kerjasama juga dengan pemda untuk di pasar tradisional kita buka kios TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) dan alhamdulillah hampir setiap kota/kabupaten membuka kios TPID,” tuturnya.
Kemudian strategi kedua adalah medistribusikan beras ke rumah pangan di masyarakat serta menyalurkan beras SPHP ke sejumlah ritel modern.
“Dengan banyaknya titik ini. Diharapkan masyarakat lebih mudah mendapatkan beras,” imbuhnya.
Sementara itu Dydik Rudy Prasetya Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jatim menyatakan stok beras hingga tiga bulan ke depan memang masih cukup. Hanya saja pada Bulan Januari 2024 kemarin, Jatim mengalami minus konsumsi kebutuhan beras sekitar 192 ton.
Sebab ketika itu produksi padi mencapai 289.972 ton beras, dan hanya menghasilkan 185 ribu ton beras. Sementara konsumsi kebutuhan mencapai 378 ribu ton.
“Sehingga kita minus 192 ribu ton beras di periode Januari. Namun di Februari kita sudah ada panenan yang cukup besar 607 ribu ton setara beras 389 ribu ton,” ujarnya.
Namun menurut mekanisme perhitungan neraca kumulatif, yang disampaikan Dydik, total stok beras Jatim di tahun ini mencapai 3,2 juta ton dengan jumlah kebutuhan konsumsi mencapai 362 ribu ton. “Jadi dari sisi ketersediaan kita cukup,” jelasnya.
Kemudian, menanggapi melipnya harga beras, Dydik menyebut ada sejumlah faktor. Antara lain alokasi pupuk subsidi dari pemerintah yang kurang, sehingga membuat petani harus mengeluarkan biaya berlipat.
Kemudian biaya tenaga kerja yang tinggi, hingga pengaruh musim kemarau yang mengharuskan petani mencari pasokan air melalui pompa. “Hal ini yg mendorong adanya kenaikan harga dan ada peningkatan harga,” katanya. (wld/bil/faz)