Deru mesin diesel yang semula kencang mulai samar. Berganti dengan suara deburan ombak yang bergelombang pelan.
Sore itu, Achmad Syukron baru saja pulang dari melaut. Profesinya sebagai nelayan mengharuskan dia berangkat dini hari dan pulang saat matahari menguasai hari.
Laki-laki yang usianya mulai masuk paruh baya itu mematikan mesin, dan meninggalkan perahunya yang berhenti di tengah Laut Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur.
Berbekal sepatu karet untuk melindungi kakinya, Syukron berjalan meninggalkan perahu yang berisi seperangkat alat menjaring ikan. Hari itu, dia mendapat ratusan ikan rejung. Ikan-ikan itu dia bawa ke darat untuk dijual ke tengkulak ekspor.
“Sarungan begini saya. Tapi lebih seringnya pakai (celana) training (yang biasa dipakai olahraga),” kata Syukron, Senin (28/10/2024), setelah berjalan 300 meter sampai ke bibir pantai.
Syukron menginjak pasir yang hampir seluruh permukaannya ditutupi cangkang kerang. Lalu naik dua pijakan tangga terbuat dari cor, kemudian melintasi jalan berpaving. Tandanya, ia mulai masuk Jalan Nambangan I, perkampungan nelayan Surabaya yang padat penduduk.
Jalan gang itu lebarnya kurang dari satu meter. Jalannya tambah sempit karena sebagian warga menyulapnya menjadi garasi motor di kanan dan kiri ruas.
Syukron menyapa warga lain di jalan itu, yang duduk di kursi-kursi anyaman depan rumah. Hampir di sepanjang jalan 200 meter itu dia menyapa warga dengan membawa hasil tangkapan.
Tiba di ujung gang, ia keluar ke Jalan Nambangan Gang II, lebih lebar dari gang sebelumnya. Syukron lalu belok kanan, dan menemui rumahnya 50 meter kemudian.
Di teras rumahnya, ada warung kopi kecil yang menjorok ke bawah dari jalan paving. Di sana, sudah tersedia secangkir kopi untuknya, yang dibuat sang istri untuk menyambut kepulangannya.
Setelah duduk di kursi permanen dari semen yang mengitari warung, Syukron menyeruput kopinya.
Hasil tangkapannya hari ini, langsung diambil tengkulak ekspor dengan harga Rp500 ribu. Angka ini dua kali lipat dari biasanya, saat dia hanya mendapatkan ikan teri bulu ayam.
“Yang sering dapat Rp200 ribu atau Rp250 ribu jaringnya teri bulu ayam. Berangkat jam 3 pagi, pulang jam 9 pagi,” tutur Syukron menceritakan kesehariannya.
Sementara anggota keluarganya sore itu sibuk. Ada yang menemani pelanggan warung sambil mengaduk kopi, ada juga yang membersihkan ikan untuk dimasak, ada pula yang baru datang memarkirkan kendaraan di tepi jalan depan rumah.
“Sebentar lagi saya balik ke laut, ambil perahu saya. Nunggu pasang,” kata Syukron sambil berusaha melepas sepatu karetnya.
Belum satu jam, usai menghabiskan sebatang rokok yang disulutnya, Syukron sudah berjalan lagi melewati gang sempit tadi, menuju tepi pantai.
Syukron duduk sebentar di perahu yang sandar dan menyapa nelayan lain yang baru menepi. Lalu dia merapikan sarung yang dikenakan dan berjalan kembali ke perahunya.
Dia bergegas, sebelum air pasang tinggi. Aksi 15 menit itu dia gunakan untuk membawa perahunya yang berwarna merah bersandar ke dekat daratan, berjejer dengan perahu nelayan lainnya.
Setelahnya, Syukron pulang dan istirahat. Atau dalam pengertiannya, dia mandi dan beribadah, serta berjumpa istri dan kedua anaknya yang duduk di bangku SMA dan SD, juga makan bersama mereka.
Untuk Bahan Bakar Saja, Harus Memilih antara Jarak dan Harga
Begitu rutinitas Syukron sehari-hari, mencari nafkah dari satu-satunya profesi yang kebanyakan warga ‘kampung nelayan’ itu kuasai.
Separuh usianya dihabiskan untuk profesi ini. Dua puluh tahun, dia sudah melaut bersama perkembangan teknologi, mulai dengan sampan hingga perahu dengan mesin diesel.
Seingatnya, ada satu yang tidak berubah. Yaitu, memperoleh bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang tidak pernah mudah.
Puluhan tahun nelayan di kampung itu harus memilih, membeli solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang paling dekat atau membeli di pengecer dengan harga dua kali lipat.
SPBU paling dekat dengan tempat tinggalnya terletak di Jalan Kedung Cowek, jaraknya 2,4 kilometer. Dia harus membeli dengan syarat memakai jeriken logam dan menunjukkan surat rekomendasi sebagai nelayan yang terdaftar di pemerintah daerah.
“(Selama ini) gak ada (nelayan yang beli ke SPBU) karena gak punya surat rekomendasi. (Selain itu alasannya) jauh, di daerah Kenjeran. Dan juga agak males, karena sudah cape kerja mau beli harus ke sana lagi, jauh,” keluh Syukron.
Seringnya, opsi kedua itu dipilih nelayan. Meski dia tahu risikonya, biaya BBM akan membebani kehidupan sehari-harinya.
“Kebutuhan solar sehari setiap nelayan beda. Saya biasanya tiga liter. Harganya kan Rp6.800, yang harusnya gak sampai Rp20.000 di pengecer bisa Rp45 ribu,” katanya lagi.
SPBUN Jadi Pilihan Baru dan Nomor Satu
Sejak sebulan terakhir, aktivitas Syukron bertambah selain menjaring ikan. Tepatnya setelah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN) pertama diresmikan di Jalan Cumpat Nomor 1 Surabaya pada 13 September 2024.
Setiap lepas azan Isya’, Syukron segera mengendarai sepeda motor matic-nya dari rumah menuju ke SPBUN tersebut yang berjak 400 meter.
SPBU khusus nelayan yang menjual BBM subsidi jenis BioSolar itu berasal dari Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial Pertamina.
Di sana sudah ada Jadid, Yusuf, dan Bihi, tiga orang kepercayaan Syukron sebagai satu pengawas dan dua operator. Sementara dirinya yang menjabat Ketua Koperasi Bahari Enam Empat, bertugas sebagai pengawas SPBUN.
Malam itu, Syukron melanjutkan ceritanya, ia bersyukur akhirnya SPBUN yang diperjuangkan sejak dua tahunan ini terealisasi. Harga BBM subsidi jenis BioSolar di sana sesuai aturan Pertamina, yakni Rp6.800 per liter.
Lebih murah dari solar kemasan botol di tingkat pengecer setempat yang berkisar mulai Rp10.000 hingga Rp12.000 per liter. Harga itu tidak bisa dijadikan patokan saat solar sedang langka.
“Jadi hampir lebih dari 70 persen biaya melaut itu habis untuk beli BBM. Jadi ya sangat membantu (nelayan) dan (kami) bersyukur sekali, karena mengurangi biaya setiap hari,” curhat Syukron.
Meski selisih harga itu terbilang sedikit, tapi menurut Syukron, sangat berarti untuk kebutuhan lainnya.
“Beli solar biasanya di pengecer habis Rp45.000, di sini (SPBUN) cuma Rp20.000 sudah dapat tiga liter,” tuturnya lagi.
Ada sekitar 400 nelayan di perkampungan yang masuk Kelurahan Kedung Cowek dan 125 di antaranya merupakan pengguna mesin diesel atau BBM solar.
Kini semua nelayan pengguna solar sudah tertolong dengan SPBUN, dengan menjadi anggota koperasi. Mereka mendapat kuota maksimal pembelian lima liter per hari atau 130 liter setiap bulan.
“Skemanya, teman-teman nelayan jadi anggota. Membayar sumbangan pokok Rp50 ribu, simpanan wajib tiap bulan Rp10 ribu,” jelas Syukron.
Setiap nelayan punya surat rekomendasi yang disimpan koperasi, pengelola SPBUN. Jumlah pembelian mereka setiap hari dilaporkan pengawas ke Pertamina.
“Di-barcode sama pengawas setiap habis pembelian. Mereka beli pakai jeriken (jenis plastik) berlogo HDPE (High Density Polyethylene),” tambahnya.
Kalau diminta mengulas, Syukron menyebut, niatnya memang sekadar ingin mendekatkan sumber perolehan BBM bagi nelayan, bukan mencari untung.
Sejak sebulan beroperasi, lanjutnya, ia dan tiga rekannya yang juga merupakan nelayan masih mengelola secara swadaya, tanpa gaji. Sekitar dua pekan sekali ia harus mengisi stok hampir Rp14 juta dengan jumlah 2.000 liter.
“Karena jumlah nelayan yang pakai solar hanya 125 orang, jadi stok itu baru habis dua minggu,” ucapnya.
Sementara marginnya hanya Rp180 per liter. Jika dikalkulasi, selama dua pekan hanya akan dapat keuntungan Rp360.000.
“Belum bayar internet, listrik, (tagihan) PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), habis,” timpalnya.
Ia berharap, rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang akan membeli satu lagi modular SPBUN untuk BBM jenis Pertalite, bisa terwujud.
“Katanya Pak Wali (Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya yang sedang cuti kampanye) Januari,” katanya. Jika rencana itu terwujud, maka seluruh nelayan di sana, bisa mendapatkan BBM subsidi di SPBUN.
“400 nelayan, 125 orang pengguna BioSolar, sisanya (275 nelayan) pengguna Pertalite,” imbuhnya lagi.
Dampak positif jangka panjang, katanya, mungkin bisa menyejahterakan rakyat sekitar untuk terlibat sebagai operator atau pengelola SPBUN.
“Kita lihat dulu nanti, dua operator (yang sudah ada) kewalahan gak. Baru nambah lagi (tenaga),” tutupnya.
SPBUN Meringankan Beban Nelayan
Tak hanya Syukron, tapi manfaat SPBUN itu juga dirasakan Maulan (60), nelayan dengan metode selam yang sudah terjun sejak 50 tahun lalu.
Salah satu yang selalu diingat sejak membantu orang tuanya mencari ikan mulai putus Sekolah Dasar (SD) adalah saat harus membeli BBM dengan jalan kaki jarak jauh.
“Jalan kaki jauh banget. Bawa jeriken ke SPBU dulu ke Kedung Cowek. Gak naik sepeda, karena gak punya. Makan aja susah,” kata Maulan mengingat kisahnya dulu.
Penghasilannya rata-rata hanya Rp200 ribu, itu pun harus menyelam, habis separuh untuk beli BBM.
“Bensin (Pertalite) dua liter, BioSolar tiga liter, belum makannya, belanjanya, ngasih uang saku anak,” cerita pria yang akrab dipanggil Pak Lan itu.
Warga kelahiran Jalan Cumpat Surabaya itu mengaku terbantu dengan adanya SPBUN. Sisa alokasi uang Rp50 ribu untuk bahan bakarnya sekarang bisa ditabung.
“Saya selalu siapkan uang Rp50 ribu untuk BBM. Sekarang cuma Rp6.800 per liter jadi sisa banyak, saya tabung sisanya,” tandasnya.
Bukan Cuma Nelayan, Pemuda Sekitar Pun Tak Lagi Nganggur
Sama seperti nelayan lain, Yusuf Ketua Karang Taruna RW 02 Jalan Cumpat Surabaya pun merasa amat bersyukur ada SPBUN di wilayahnya.
Sebagai pekerja serabutan, sejak berhenti sebagai cleaning service saat pandemi Covid-19 lalu, sekarang ia punya kegiatan pasti yaitu ikut mengelola SPBUN bersama koperasi yang dipimpin Syukron.
“Pandemi Covid-19 saya resign (keluar) kerja. Setelah itu melaut (jadi nelayan). Kadang ke laut, kadang (kerja apa aja) di darat,” tuturnya.
SPBUN ini, sambungnya, memberi harapan bagi pemuda setempat karena bisa jadi lapangan kerja baru selain memutuskan jadi nelayan selepas lulus pendidikan wajib 12 tahun.
“70 persen (pemuda di sini gak kerja),” pungkasnya.
Kolaborasi Pertamina dan Pemerintah Sejahterakan Warga
Napas lega para nelayan dan pemuda setempat itu tidak terlepas dari pembangunan SPBUN.
Ahad Rahedi Area Manager Communication Relation & CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus menuturkan, pembangunan SPBUN itu masuk dalam program Solar Untuk Koperasi (Solusi).
Mengutip situs resmi pertamina.com, program Solusi itu besutan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Diluncurkan pertama kali di Pelabuhan Perikanan Samudera, Cilacap, Jawa Tengah, 2022 lalu.
“SPBUN di Jalan Cumpat itu program inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, bersama Kementerian Koperasi dan UKM melalui porgram Solusi,” kata Ahad saat dikonfirmasi suarasurabaya.net, Rabu (30/10/2024).
Ahad memastikan SPBUN di Jalan Cumpat sebagai yang pertama di Surabaya sudah sesuai standar keamanan.
“Normalnya pada setiap pendirian SPBUN, inisiasi berasal dari masyarakat ke dinas kelautan dan perikanan setempat (Jawa Timur). Pertamina bertugas memverifikasi dan meninjau aspek safety (keamanan) setelah ada persetujuan dari dinas kelautan dan perikanan,” imbuhnya.
Bagi daerah yang belum tersedia, Ahad melanjutkan, nelayan bisa membeli BBM di SPBU reguler dengan menyertakan surat rekomendasi.
“Untuk memvalidasi nelayan yang butuh BBM,” tandasnya.
Sementara Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya yang turut meresmikan SPBUN saat itu mengapresiasi, pembangunan SPBUN pertama di Kota Surabaya bisa dibangun cepat sehingga langsung digunakan Kelompok Usaha Bersama (KUB) nelayan di kawasan Kecamatan Bulak.
“Alhamdulillah diresmikan SPBUN. Semoga diresmikannya SPBUN ini bisa memberikan manfaat untuk nelayan. Karena nelayan akan mendapatkan harga subsidi untuk solar,” katanya saat peresmian.
Bahkan rencana terdekat, Eri akan menggandeng Kemenkop UKM dan PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus untuk membangun SPBUN dengan bahan bakar jenis Pertalite.
“Dalam waktu dekat, kita juga akan membentuk yang sama seperti ini. Apakah nanti tempatnya jadi satu di sini atau di tempat lainnya, atau mendekatkan dengan nelayan di Medokan Ayu. Karena nelayan di Medokan Ayu kebanyakan menggunakan bahan bakar Pertalite,” ungkapnya.
Kehadiran SPBUN Surabaya itu menambah daftar jumlah yang sudah terbangun menjadi 412 titik di seluruh Indonesia.
Namun Dani Hamdan Direktur Management Office Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM RI menilai, jumlah itu masih kurang jika dibandingkan total kampung nelayan di Indonesia mencapai 10.700 titik.
“Karena saat ini rasionya masih jomplang ya. Kampung nelayan sekitar 10.700-an, berbanding SPBUN yang ada di data kami baru 412 SPBUN. Karena 60-70 persen kebutuhan nelayan itu dikeluarkan membeli bahan bakar solar. Nah bayangkan kalau bahan bakar tidak bisa dijangkau atau mahal dan sulit diakses maka hari itu nelayan tidak bisa melaut,” tambah Dani yang juga menghadiri peresmian. (lta/ham)