Suasana di Beirut, khususnya di kawasan pemukiman Syiah di Dahieh, wilayah selatan Ibu Kota Lebanon kian mencekam di tengah bombardir Israel beberapa hari terakhir.
Faizal Assegaf wartawan senior yang juga pengamat Timur Tengah mengatakan, para penduduk di sana sudah diungsikan terutama setelah kematian Hassan Nasrallah pemimpin kelompok Hizbullah.
“Dahieh itu kawasan pemukiman Syiah, terutama yang (ikut) Hizbullah, letaknya di selatan Beirut, nah itu yang menjadi target serangan Israel. Bahkan, tiap hari setelah kematian Nasrallah itu pesawat nirawak (drone) Israel terbang di atas Dahieh dan suaranya seperti kawanan tawon (lebah). Itu mereka bisa berjam-jam,” ujar Faizal Assegaf kepada Radio Suara Surabaya, di tengah proses perjalanan pulang ke Indonesia dari Lebanon, Senin (30/9/2024) pagi WIB.
Dari pantauannya di Lebanon, pemerintah setempat bahkan terlihat kewalahan mengangani setengah juta pengungsi dari Dahieh ke Beirut. Jalanan sudah penuh dengan pengungsi yang tidur karena tidak mendapatkan tempat untuk berlindung.
“Mereka mengungsi mandiri, ditambah ada perintah evakuasi dari Israel untuk mengosongkan Dahieh. Saya lihat di daerah pantai di Zaitunay itu ada para pengungsi tidur di mobil ya di pinggir jalan itu sendiri, di trotoar,” ungkapnya.
Di sisi lain, menurutnya alasan Israel terus menyerang Beirut meski pemimpin Hizbullah tewas dalam serangannya, tak lain karena unsur politik dari Benjamin Netanyahu Perdana Menteri Israel.
Dia mengatakan pemimpin Zionis itu saat ini popularitasnya sedang anjlok, pascagagal menghabisi milisi perlawanan di Gaza, membebaskan sandera yang di tahan di sana, hingga kegagalan menjadikan wilayah kantong yang terkepung itu aman untuk ditempati warga Israel.
“Jadi tiga tujuan itu sudah gagal oleh Netanyahu. Nah, ini ada kesempatan Netanyahu untuk menaikkan popularitas dirinya di dalam negeri yang memang sudah anjlok itu, ya itu dengan menyerang Hizbullah,” ujarnya.
“Kita tahu setelah pembunuhan Ismail Haniyeh (Kabiro Politik Hamas), serta Fuad Shukr tangan kanan pemimpin Hizbullah, Netanyahu mulai memakai kebijakan membunuh figur-figurnya. Dalam waktu seminggu waktu saya terbang ke Beirut, Jumat 2 pekan lalu sampai Jumat kemarin, (pembunuhan) itu sampai kepada pemimpin tertingginya yaitu Hasan Nasrallah. Jadi memang Netanyahu memakai kebijakan itu untuk juga menaikkan popularitas di dalam negeri,” tambahnya.
Selain itu, misi lainnya, Netanyahu ingin mengembalikan para pemukim Yahudi di wilayah utara Israel yang berbatasan dengan Lebanon, yang sejak 8 Oktober mengungsi setelah Hizbullah melancarkan serangan lintas batas ke wilayah utara Israel sebagai bentuk solidaritas kepada warga Gaza yang digenosida zionis.
Di sisi lain, menurut Faizal Azegaf hizbullah diperkirakan akan terus melakukan perlawanan meski sudah kehilangan pemimpin tertinggi hingga rantai komando militernya selama seminggu terakhir.
“Otomatis salah satu cara untuk memelihara semangat atau bahkan menaikkan semangat dan trust (kepercayaan) dari para pejuangnya, ya Hizbullah harus membalas kematian Nasrallah dan komandan-komandan lainnya ya. Salah satu caranya dengan terus menyerang Israel,” ujarnya.
Meski demikian, dari pengamatannya, ribuan tank Israel sudah disiapkan di perbatasan dengan Lebanon yang kemungkinan besar akan masuk.
“Jadi memang ini momentum bagi Netanyahu untuk menghabisi Hizbullah, ini yang dikhawatirkan oleh pihak KBRI. Makanya ada upaya untuk evakuasi warga Indonesia,” ucapnya.
Sementara soal begitu cepatnya rantai komando Hizbullah dihabisi dalam satu pekan, wartawan senior itu menyebut dari isu yang beredar ada indikasi pengkhianat di dalam tubuh Hizbullah, hingga Mossad atau badan intelijen Israel yang sudah sejak 10 tahun lalu merencakan pembunuhan Nasrallah.
Demikian dengan pemerintah Lebanon sendiri, kata Faizal tak terlihat menunjukan respons signifikan mengingat perang ini merupakan Israel melawan kelompok Hizbullah. “Karena kita tahu kekuatan militer Hizbullah itu dominan di Lebanon,” ungkapnya. (bil/ham)