Serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap lebih dari 85 titik di perbatasan Irak dan Suriah terkait Garda Revolusioner Iran (IRGC) pada, Jumat (2/2/2024) waktu setempat, dilaporkan telah menewaskan setidaknya 40 orang.
Melansir Reuters, Minggu (4/2/2024), serangan AS ini sebagai bentuk respon atas militan terkait IRGC yang pada pekan lalu menyerang wilayah Yordania dan menewaskan tiga anggota militer AS.
Serangan lewat penggunaan pembom B-1 jarak jauh yang diterbangkan dari Amerika Serikat ini, dipercaya memperparah konflik yang telah menyebar ke wilayah tersebut sejak pecahnya perang antara Israel dan Hamas sejak 7 Oktober lalu.
Pasukan Mobilisasi Rakyat Irak yang juga pasukan keamanan negara didukung Iran, mengatakan 16 anggotanya meninggal atas serangan tersebut, termasuk pejuang dan tenaga medis.
“Sementara di Suriah, serangan tersebut menewaskan 23 orang yang sedang menjaga lokasi yang ditargetkan,” kata Rami Abdulrahman Direktur Syrian Observatory for Human Rights.
Di sisi lain, Letnan Jenderal Douglas Sims, direktur operasi untuk Kepala Staf Gabungan AS mengatakan, serangan itu tampaknya berhasil memicu ledakan sekunder besar saat bom mengenai persenjataan militan.
Dia mengatakan serangan dilakukan dengan mengetahui kemungkinan akan ada korban di fasilitas tersebut.
Meski demikian, Pentagon mengatakan tidak ingin perang dengan, meskipun ada peningkatan tekanan dari pihak Partai Republik yang mendesak Joe Biden Presiden untuk memberikan pukulan langsung merespon serangan di Yordania pekan lalu.
“Amerika Serikat tidak menginginkan konflik di Timur Tengah atau di mana pun di dunia. Tapi biarlah semua orang yang mungkin ingin menyakiti kami mengetahui hal ini: Jika Anda menyakiti orang Amerika, kami akan meresponsnya,” kata Biden. (bil/ham)