Sidang DPR pada Selasa (3/6/2024) lalu, telah mengesahkan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), yang mengatur cuti bagi Ibu melahirkan jadi lebih panjang.
Diketahui UU KIA yang disahkan dalam rapat paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024, pada Selasa (3/6/2024) itu, memberikan waktu cuti lebih lama untuk Ibu melahirkan yakni enam bulan. Hak cuti ibu bekerja itu tertuang dalam Pasal 5 ayat 3 UU KIA.
Aturan tersebut juga mengatur setiap ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan secara penuh untuk bulan keempat, dan 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.
Tapi apakah kebijakan cuti untuk ibu yang bekerja ini langsung diterima begitu saja oleh masyarakat, khususnya perusahaan maupun karyawan wanita sendiri?
Dari survey yang dilakukan Suara Surabaya Media lewat program Wawasan Polling, Kamis (6/6/2024), nyatanya tidak semua setuju kebijakan tersebut efektif baik untuk perusahaan maupun ibu yang bekerja.
Dari data yang diperoleh Tim Gate Keeper Suara Surabaya, sebanyak 10 dari 16 pendengar (64 persen) yang bergabung dalam program Wawasan Polling, memang menyatakan setuju kebijakan tersebut efektif baik untuk perusahaan maupun untuk ibu melahirkan.
Namun, dari data polling lewat Instagram Suara Surabaya Media, antara yang menganggap kebijakan tersebut efektif maupun tidak justru berimbang. Sebanyak 86 dari 177 voters (49 persen) menganggap kebijakan itu efektif baik untuk perusahaan maupun untuk ibu melahirkan. Sedangkan, 91 voters (51 persen) sisanya menganggap tidak efektif.
Di sisi lain, Dr. Abdul Aziez Konsultan Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan Produktivitas NLP Consult Indonesia mengatakan, meski kebijakan ini dapat sambutan baik dari mayoritas masyarakat, tapi hak cuti itu tak bisa serta merta diambil.
Menurutnya perusahaan tentu harus mempertimbangkan dari segi produktivitas. Apalagi dalam UU tersebut disebutkan kalau hak cuti di atas tiga bulan bagi Ibu melahirkan, bisa diambil kalau yang bersangkutan memasuki kondisi khusus.
“Jadi khusus yang (posisi) memang benar-benar harus di-handle oleh wanita, ya memang harus disiapkan untuk pengganti atau mungkin ada yang merangkap, atau ada yang dilemburkan ketika terjadi cuti yang cukup panjang, tergantung dari jenis pekerjaannya,” ujar Abdul Aziez waktu mengudara di pogram Wawasan Polling menanggapi disahkannya Undang-Undang tersebut.
Dia mengatakan, seringkali banyak perusahaan sampai harus memberlakukan kebijakan mengrekrut karyawan dengan sistem kontrak atau freelance untuk mengisi kekosongan sementara itu.
Demikian dengan suami yang mendapatkan jatah cuti hingga 40 hari, kata Abdul Aziez, menurutnya secara psikologi memang ampuh untuk mendukung istri yang dalam tahap baru melahirkan.
“Jadi dilihat apakah memang benar-benar kebutuhannya itu sampai di batas mana. Tapi yang penting kan produktifitasnya itu tetap harus terjaga, karena itu yang benar-benar berhubungan dengan bisnis perusahaan. Jadi harus mengelola kekosongan yang ditinggalkan ini,” jelasnya.
Sementara soal kekhawatiran UU KIA berpotensi membuat perusahaan mengurangi perekrutan pekerja perempuan yang sudah menikah karena mempengaruhi prodiktivitas, Pakar SDM itu menjelaskan kalau potensi itu memang ada.
Masalah, menurut dia bisa saja terjadi saat ibu yang akan melahirkan tersebut dihadapkan pada masalah promosi jenjang karier ke posisi yang lebih strategis.
“Misalnya yang perempuan naik (jabatan), kemudian dia cuti enam bulan, padahal dia harus mengambil keputusan dan sebagainya, itu akan lebih menyulitkan perusahaan. Jadi, bukan hanya di rekrutmen awal, tapi juga termasuk di program succession planning dan sebagainya, itu juga berpengaruh,” ujarnya.
Karenanya, begitu regulasi ini dikeluarkan oleh pemerintah, perusahaan harus melakukan penyesuaian. Tentunya dengan menunggu mekanisme pengaturannya lewat Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden tentang operasional dari aturan tersebut.
“Kalau dari segi itikad baik ini seharusnya efektif karena memberikan kondisi yang baik dari kesejahteraan ibu sebagai karyawati, sehingga dia nanti tetap punya kemampuan untuk produktif ketika masuk lagi dalam bekerja,” pungkasnya. (bil/ipg)