Abdul Mu’ti Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) menyampaikan, pihaknya akan memasukkan mata pelajaran coding dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) ke dalam kurikulum pelajaran tingkat sekolah dasar (SD) pada tahun ajaran 2025-2026 sebagai mata pelajaran pilihan.
Sebelumnya, Gibran Rakabuming Raka Wakil Presiden RI menitipkan pesan kepada Mendikdasmen agar anak-anak sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) mendapatkan mata pelajaran coding dan AI.
Hal ini sejalan dengan visi Indonesia untuk mewujudkan generasi emas menuju Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan lebih banyak ahli coding, ahli AI, ahli machine learning, dan sebagainya.
Menurut Anda, perlu tidak coding dan AI masuk kurikulum SD?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (19/12/2024) pagi, masyarakat cenderung sepakat jika coding dan AI masuk kurikulum SD.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 61 persen peserta polling menyatakan bahwa coding dan AI perlu masuk kurikulum SD. Sedangkan 39 persen lainnya menyebut tidak perlu.
Sedangkan berdasarkan data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 52 persen voters atau peserta polling menyatakan coding dan AI perlu masuk kurikulum SD. Sedangkan 48 persen lainnya menyatakan tidak perlu.
Terkait hal ini, Anjik Sukmaaji Dekan Fakultas Teknologi dan Informatika Universitas Dinamika mengatakan, meski mengenalkan coding pada anak sejak dini bukan hal yang mustahil.
Namun ia berpendapat bahwa fokus utama di tingkat SD sebaiknya lebih pada pengembangan karakter anak, bukan langsung pada materi teknis seperti coding dan AI.
Ia mengamati bahwa banyak anak yang masih kesulitan dalam memahami adab dan aspek sosial lainnya. Di sisi kognitif, anak pada usia SD biasanya lebih siap untuk mengenal konsep dasar yang mendukung logika berpikir, seperti yang ada dalam matematika, bukan coding yang dinilai terlalu kompleks.
“Saya lebih setuju jika pengenalan coding dilakukan mulai kelas 6 SD, dengan penekanan pada konsep dasar yang sederhana. Misalnya, bagaimana komputer bekerja atau berpikir,” ungkapnya.
Anjik juga menyarankan bahwa untuk anak SD, pengenalan coding dapat dilakukan melalui cara yang lebih menyenangkan, seperti permainan yang melibatkan pengulangan atau pola tertentu.
Ia menyebutkan, dalam proses belajar coding, yang paling penting adalah penguasaan logika. Jika anak memiliki dasar logika yang kuat, mempelajari coding akan menjadi lebih mudah. “Coding itu sebenarnya mudah jika logikanya sudah matang,” ujarnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa implementasi program ini harus melibatkan pengajaran yang baik dan tenaga pengajar yang memadai. Di Surabaya, misalnya, sudah ada banyak tenaga pengajar yang mampu mengajarkan IT, tetapi di daerah lain, terutama untuk tingkat SD, hal ini masih menjadi tantangan.
Anjik menambahkan bahwa lebih realistis jika coding dikenalkan di tingkat SMP dan SMA, dengan penekanan pada penguatan kemampuan IT. Di tingkat ini, siswa sudah lebih siap untuk mempelajari coding secara lebih mendalam.
“Dengan penguatan IT, lulusan kita akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia kerja yang semakin mengandalkan teknologi,” katanya.
Anjik juga menyebutkan kekhawatirannya bahwa pengenalan AI dan coding yang terlalu dini bisa menghambat kemampuan berpikir kritis anak-anak.
Ia menekankan bahwa pengenalan teknologi ini harus tetap seimbang dengan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan sistematis.
Sebagai rekomendasi, ia menyarankan agar pengenalan coding pada anak SD lebih bersifat dasar, seperti mengajarkan mereka berpikir secara sistematis melalui permainan atau aktivitas yang melatih logika. (saf/ipg)