Muhadjir Effendy Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membentuk Satgas Pengendalian Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Satgas itu untuk mengantisipasi karut marutnya PPDB seperti yang terjadi tahun lalu. Kemendikbudristek sudah diminta menyusun, membentuk, mengembalikan Satgas Pengendalian PPDB.
Satgas yang melibatkan aparat seperti kejaksaan dan kepolisian itu, bertujuan mengantisipasi dan mencegah terjadinya praktik-praktik penyimpangan selama pelaksanaan PPDB.
Satgas Pengendalian PPDB di tingkat pusat ini nantinya akan melibatkan Jaksa Agung, Kemenko PMK, Kemendikbudristek, Kementerian Agama (Kemenag), dan lain sebagainya.
Satgas ini nanti juga ada di tingkat daerah dengan melibatkan Kajati, Kejari, dan lainnya untuk betul-betul memastikan tidak ada lagi praktik-praktik penyimpangan.
Lantas, apakah PPDB Zonasi seharusnya dibenai atau diganti?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (29/2/2024) pagi, masyarakat menyatakan PPDB harus dibenahi.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari total 26 pendengar yang berpartisipasi, 14 di antaranya (54 persen) menyatakan PPDB harus dibenahi. Kemudian 12 lainnya (46 persen) ingin PPDB diganti.
Sementara dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 206 votes (55 persen) menyatakan PPDB harus dibenahi. Sedangkan 171 lainnya (45 persen) berharap PPDB diganti.
Menyikapi isu terkait PPDB, Musyafa’ praktisi pendidikan asal Surabaya menjelaskan bahwa permintaan Menko PMK tentang pembentukan Satgas PPDB, tak lepas dari kekacauan di PPDB 2023/2024 lalu. Sehingga pemerintah ingin memastikan agar pelanggaran-pelanggaran itu diantisipasi dan ditindak.
“Saya kira ini pendekatan hukum. Tapi sebenarnya ada pendekatan yang lebih kuat lagi, tapi memerlukan proses, itu adalah edukasi masyarakat. Bagaimana masyarakat itu bisa menaati aturan yang dibikin oleh pemerintah,” katanya ketika on air di Radio Suara Surabaya, Kamis.
Namun Musyafa’ juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam membuat aturan terkait PPDB ini. Masalah keadilan, transoaransi, akuntabilitas, itu harus benar-benar mewadahi semua masyarakat.
“Intinya tidak masalah kalau pemerintah membuat PPDB. Tapi lebih penting lagi sebenarnya adalah kesadaran masyarakat dalam menjalani atau menaati aturan-aturan di PPDB,” ujarnya.
Musyafa menyebut sistem zonasi di PPDB seperti buah simalakama. Di satu sisi ingin pemerataan pendidikan dan menghapus kastanisasi sekolah. Namun di sisi lain daya tampung sekolah masih kurang.
Sehingga pelbagai masalah pun muncul di masyarakat. Apalagi masyarakat juga ingin pendidikan terbaik untuk anaknya. Hal ini membuat ada masyarakat yang berani menabrak aturan.
“Maka seharusnya pemerintah juga harus mendorong swasta untuk ikut terlibat di dalam pendidikan nasional ini. Dengan sekolah negeri dan swasta yang sama-sama bagus, maka akan bisa mewadahi animo masyarakat yang tinggi untuk memilih sekolah yang baik,” jabarnya.
Sengkarut PPDB pada 2023, menurut Musyafa’, disebabkan oleh berbagai masalah yang muncul dari sistem zonasi. Misal ada anak yang nilai akademisnya bagis, tapi rumahnya beradaq di zona yang jauh dari sekolah yang diharapkan. Akhirnya si anak kesulitan untuk masuk ke sekolah itu.
Hal-hal seperti inilah yuang membuat masyarakat akhirnya mencari pelbagai cara agar anaknya masuk ke sekolah yang diharapkan. Akhirnya kemudian menabrak aturan.
“Seperti pindah KK, menggunakan jasa orang dalam, dan sebagainya. Itu yang kemarin timbul pada PPDB tahun lalu,” ucap Kepala Bagian Penjamin Mutu YLPI Al Hikmah Surabaya itu. (saf/iss)