Adhy Karyono Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur (Jatim) akan membenahi persoalan serapan susu lokal yang kurang maksimal karena ada pembatasan kuota dari pabrik pengolah.
Hal ini buntut aksi protes sejumlah peternak sapi hingga pengepul susu di Pasuruan yang membuang ratusan ribu liter susu. Penyebabnya diduga karena pabrik setempat lebih memilih susu sapi impor.
Pemprov Jatim berencana akan bertemu dengan sejumlah pihak terkait untuk menelusuri persoalan ini. Termasuk bertemu dengan pihak pabrik pengolah susu.
“Iya saya lagi nunggu laporan hari ini, saya tidak mau statement dulu, karena rencana akan pertemuan dulu seperti apa,” kata Adhy saat ditemui di Kantor Disperindag Jatim, Senin (11/11/2024).
Adhy menyebut, aksi protes para peternak sapi itu tak bisa dibiarkan. Persoalan tersebut harus segera dibenahi. Sebab, Jatim merupakan salah satu provinsi pengahasil susu perah terbesar di Indonesia. “Yang jelas kita (Jatim) memang penghasil susu yang paling banyak,” katanya.
Soal impor susu, Prabowo Subianto Presiden RI saat masa Pilpres pernah menyatakan tidak akan mengimpor susu untuk memenuhi kebutuhan program susu gratis, tapi mengimpor 1-1,5 juta ekor sapi perah dalam lima tahun.
Kehadiran sapi impor ini diharapkan bisa menutup kekurangan 80 persen kebutuhan susu yang tak mampu dipasok peternak lokal. Oleh sebab itu, Pj Gubernur Jatim mengatakan, berapa pun hasil produksi susu sapi perah sangat dibutuhkan.
“Berapapun sebetulnya dibutuhkan dengan beberapa produsen, beberapa pun diserap. Ini persoalan sangat-sangat teknis sebetulnya,” tuturnya.
Untuk diketahui sebelumny, Bayu Aji Handayanto peternak sekaligus pengepul susu sapi asal Pasuruan, mengatakan pembuangan hasil panen susu sapi ini telah dilakukan sejak akhir September 2024 hingga sekarang.
“Totalnya sudah ada 500 ribu liter yang terbuang (mulai akhir September 2024 hingga sekarang),” ujar Bayu saat dikonfirmasi pada Kamis (7/11/2024) lalu.
Bayu mengutarakan, awalnya pada September 2024, pabrik pengolahan susu di Jakarta meminta pengurangan kuota dengan alasan perbaikan mesin dalam sepekan.
“Kebetulan saya pasok tiga pabrik susu di Jakarta. Semuanya itu memberikan info kepada saya bahwa akan terjadi maintenance mesin sehingga pasokan bahan baku yang dikirimkan mereka minta dikurangi. Okelah kita ikuti permintaan kita kurangi bahan bakunya,” ucapnya.
Namun, pembatasan kuota itu berlanjut pada minggu selanjutnya dengan alasan daya beli masyarakat turun.
“Akhirnya hingga waktu satu minggu lha kok berlanjut sampai hari ini alasannya daya beli masyarakat turun sehingga mereka produksi susunya turun, tapi janggal,” ungkapnya.
Bayu pun merasa janggal dengan sejumlah alasan dari pabrik tersebut. Hal ini, kata dia, susu dalam negeri selama ini hanya mampu 20 persen untuk memenuhi kebutuhan susu masyarakat. Setelah ditelisik, ternyata pabrik-pabrik pengolahan susu itu beralih ke susu impor.
“Janggalnya apa? Secara statistik, bahan baku susu di Indonesia kan cuma bisa memenuhi 20 persen total dari kebutuhan nasional. 80 persen kita impor. Sedangkan mereka bilang kuota ke kita untuk produksi susu. Lah bahan bakunya dari mana produksi susu itu? Ternyata impor,” jelasnya.
“Impornya ini kan 80 persen. Karena impor itulah bahan baku dari masyarakat dalam negeri ini di nomor duakan, tidak diutamakan. Seharusnya kan dari dalam negeri dulu lah, cuma 20 persen kok kita,” imbuhnya.
Padahal, lanjut Bayu, bulan-bulan sebelumnya dirinya dibebaskan untuk mengirimkan sebanyak mungkin susu sapi.
“Tapi ketika mungkin situasi harga susu impor dengan susu lokal ini lebih tingkat susu impor sedikit. Jadinya mereka memutuskan ambil impor, mungkin seperti itu dari data yang saya baca. Jadi hasil panen dari masyarakat di nomor duakan,” bebernya.
Karena ada pembatasan kuota dari pihak pabrik itu, hasil panen susu peternakan Bayu akhirnya menumpuk dan dibuang karena basi.
Bayu yang setiap harinya bisa menyetok rata-rata 100 ton per hari susu sapi ke tiga pabrik. “(Sekarang) 70 ribu liter,” tambahnya.
Namun hal serupa juga tidak hanya dialami oleh Bayu, melainkan pengepul susu di daerah lainnya juga terdampak.
“Harusnya dijual hari Senin jadi dijual hari Selasa. Yang hari Selasa dijual hari Rabu. Akhirnya barang numpuk basi kan dan jumlahnya lebih dari setengah ton yang dibuang. Kalau ngomongkan kerugian ya sudah lebih dari Rp3 miliar. Itu baru beberapa teman yang ngaku ke saya. Pengepul susu se-Indonesia ini kondisinya sama,” ungkapnya.
Bayu pun merasa kerugian hingga miliaran ini sebetulnya juga pernah dialami pada tahun sebelumnya.
“Sebetulnya tahun kemarin ya seperti ini. Saya sendiri tahun kemarin rugi 10 miliar. Tahun ini saya perbaiki manajemen saya. Saya sih nggak mengalami kerugian banyak maksudnya tetap rugi tapi dibanding tahun kemarin. Dari 10 miliar rugi Rp1 miliar saya katakan wajar lah. Tapi ya masak mau seperti ini terus,” ujarnya.
Atas persoalan tersebut, Bayu mengaku telah mengadukan keresahannya ini kepada pihak Kementerian Pertanian agar mendapat perharian.
“Saya sudah menyampaikan protes dan keberatan ke dirjen kementerian pertanian. Sudah saya sampaikan, mereka jawabnya sudah akan ditindaklanjuti,” jelasnya. (wld/bil/ipg)