Parlemen Australia telah mengesahkan Undang-Undang (UU) yang melarang anak-anak dan remaja di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Facebook. Hal ini menjadikan Australia sebagai negara pertama yang memberlakukan pembatasan semacam itu.
UU ini bertujuan untuk melindungi kesehatan mental anak muda dan akan mulai berlaku pada akhir 2025, dengan denda hingga 50 juta dolar Australia bagi perusahaan yang melanggar. Meskipun kebijakan ini melarang penggunaan media sosial oleh anak-anak, pengelola platform tidak diharuskan memverifikasi identitas pengguna.
Anthony Albanese Perdana Menteri menegaskan, reformasi ini penting untuk melindungi masa kanak-kanak dan mengatasi dampak negatif media sosial, yang dapat menyebabkan masalah psikologis dan rendahnya kepercayaan diri di kalangan remaja.
BACA JUGA: Resmi! Australia Melarang Anak dan Remaja di Bawah 16 Tahun Gunakan Media Sosial
Menyikapi hal ini, Alfons Tanujaya pemerhati teknologi sekaligus pengamat keamanan siber mengatakan, aturan ini muncul akibat keprihatinan dari lembaga pendidikan. Kemudian ketika dilakukan polling, mayoritas warga Australia setuju dengan pembatasan media sosial.
“Meski sebenarnya kita menjadi bertanya-tanya, tugas orang tua kok dipindahkan ke negara,” terang Alfons dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (3/12/2024) pagi.
Dengan penerapan aturan ini, maka pemerintah Australia harus mengidentifikasi semua pengguna media sosial di bawah 16 tahun. Hal ini langsung menyangkut isu privasi dan menjadi pembahasan di sana.
Alfons pun mencontohkan penggunaan media sosial di beberapa negara seperti Amerika Serikat. Di sana kebijakan media sosial cenderung lebih bebas. Sementara di China, media sosial diawasi ketat oleh pemerintah.
“Kita harus lihat dua-duanya. Tidak ada yang 100 persen benar dan 100 persen salah. (Tergantung) bagaimana kita menempatkannya,” imbuh Alfons.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Berharap bebas bermedia sosial seperti di Amerika Serikat atau ada pengawasan ketat seperti di China?
Alfons berpendapat bahwa di Indonesia, kontrol terhadap penggunaan media sosial kembali kepada orang tua. “Semua kembali ke orang tua. Kalau orang tua mendidik dengan baik dan ada kontrol, rasanya anak-anak bisa membatasi dengan baik. Jadi orang tua juga harus cukup awas,” katanya.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa di Indonesia, ada tantangan lain seperti pengelolaan data pribadi yang kurang baik dan maraknya kejahatan digital seperti judi online dan pinjaman online ilegal.
“Sebenarnya ini merupakan cerminan dari kekuranganmampuan kita dalam mengelola data dan mengawasi,” ujar Alfons.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah Indonesia perlu lebih memperhatikan bagaimana mengelola data dan mengantisipasi kejahatan digital.
Alfons Tanujaya juga beranggapan bahwa kebijakan seperti yang diterapkan di Australia sulit diterapkan di Indonesia.
Akan tetapi, ada potensi untuk menerapkan identitas kependudukan digital yang bisa digunakan untuk mengontrol akses media sosial. Ia juga mengingatkan bahwa sistem ini harus dijalankan dengan baik dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.
Tantangan teknis dan potensi penyalahgunaan tetap menjadi perhatian, tetapi jika berhasil, kebijakan ini bisa memberikan manfaat positif bagi anak-anak dan remaja di Australia, yang bisa diikuti oleh negara lain.
Pemerintah juga perlu memperhatikan potensi masalah dalam pengawasan media sosial, karena teknologi seperti VPN dapat memudahkan anak-anak untuk mengakses platform meski ada pembatasan. (saf/ham)