Jumat, 22 November 2024

Pengamat: Penerapan Pungutan untuk Wisman Harus Dibarengi Peningkatan Layanan dan Infrastruktur

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Wisatawan mancanegara di Kuta, Bali. Foto: Getty

Pemerintah berencana menerapkan pungutan atau biaya tambahan kepada wisatawan mancanegara (wisman) di lima destinasi pariwisata super prioritas yaitu Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.

Sebelumnya, Kementerian Pariwisata menyatakan, kebijakan itu melihat pertumbuhan wisata utama di Indonesia seperti Bali yang semakin besar. Tarif dari pungutan tersebut, akan berbeda-beda di tiap destinasi.

Kalau di Bali, pungutan rencananya diterapkan pada Februari mendatang dengan tarif 10 dolar AS atau setara Rp150 ribu. Sedangkan daerah lain, disesuaikan dengan sarana dan kesiapan masing-masing, khususnya di infrastruktur pendukung.

Dampak dari tambahan biaya tersebut, menurut Agoes Tinus Lis Indrianto Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra (UC) Surabaya, meski tidak akan berdampak besar pada minat wisman untuk datang ke Indonesia. Namun, tetap ada pekerjaan rumah (PR) dari sisi psikologis wisman tersebut.

“Mereka akan bertanya-tanya, saya akan bayar, tapi apa yang saya dapatkan? Apa yang didapatkan dari itu? Apakah ada perubahan infrastruktur yang lebih bagus? Apakah pelayanan yang lebih baik? Apakah ada kualitas yang memang dia bisa ngerasakan secara langsung? Itu yang menjadi PR berikutnya sebenarnya,” ujar Tinus dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (8/1/2024).

Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah mempersiapkan betul peningkatan layanan seiring dengan perubahan pajak wisata tersebut. Termasuk 3A, yakni aksesibilitas, amenitas, dan atraksi.

Menurutnya, berapapun biaya tambahan yang ditentukan, tidak akan terlalu dipusingkan oleh para wisatawan. Asalkan, layanan dan produk wisata yang ditawarkan sesuai dengan yang dibayarkan.

“Maaf, jangankan orang asing, orang Indonesia yang mungkin menengah ke atas yang itu ya, nggak ada artinya kan (biaya tambahan) Rp150 ribu gitu. Itu karena spending-nya lebih besar dari itu. Cuman setelah itu kan orang mau bayar itu buat apa? Ketika ada perubahan, itu yang perlu ditekankan,” ungkapnya.

Pengamat pariwisata UC Surabaya itu juga menekankan, kebijakan pungutan tambahan kepada wisman di setiap destinasi wisata suatu daerah, seharusnya juga dapat berdampak kepada masyarakat setempat.

Menurutnya, hasil pungutan tersebut harusnya jadi wewenang pemerintah daerah setempat, untuk digunakan dalam rangka mensejahterakan rakyatnya.

“(Misalnya) kesejahteraan masyarakat Bali sejauh mana, apakah masyarakat Bali sendiri misalnya berobat bisa gratis, sekolah bisa gratis, nah ini kan jadi indikatornya. Kalau ternyata wisatawan banyak, income banyak, tapi kesejahteraan ke masyarakat itu minimal, maksudnya standar dan tidak ada yang istimewa gitu, ya jadi pertanyaan, dengan jumlah wisatawan yang mereka dapatkan, apakah mereka dapat kesehatan yang lebih baik dari pemerintah daerahnya gitu,” jelasnya.

Pada kesempatan itu, Tinus juga menekankan sangat tidak tepat kalau kebjakan pungutan itu dipakai pemerintah untuk memecah konsentrasi wisatawan, supaya tidak hanya berkunjung ke destinasi wisata seperti Bali, Yogyakarta, maupun Bromo di Jawa Timur.

Untuk di Bali, menurutnya wisatawan sebetulnya punya opsi lain seperti di Lombok maupun Labuan Bajo. Namun, karena akses transportasi yang mahal, wisatawan kadang mengurungkan niatnya berkunjung kesana. Untuk itu, dia mengatakan perlu adanya campur tangan dari pemerintah memberikan insentif terkait keterjangkauan biaya transportasi.

Insentif pajak diberlakukan, insentif transportasi pemerintah masuk di subsidi avturnya misalnya. Banyak lh orang Indonesia mau ke Labuan Bajo, tapi mahal akhirnya lebih milih ke Malaysia, dalam konteks biaya tiket pesawat,” ungkapnya.

Demikian dengan di Jawa Timur, pemerintah bisa lebih menaruh fokus pada destinasi wisata lainya selain Bromo yang memang jadi destinasi major. Menurutnya, pemerintah perlu mempromosikan potensi wisata lain, seiring meningkatan infrastruktur pendukung.

“Pemerintah harus melihat ini ada pemecahan konsentrasi dan ini memang harus intervensi pemerintah lewat kebijakan, dan ini bukan hanya ditetapkan tapi ya harus diseriusi,” pungkasnya. (bil/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs