Polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sampai detik ini seakan belum menemui titik terang, meski pada beberapa waktu lalu Komisi X DPR RI memanggil Nadiem Makariem Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) menggelar rapat kerja.
Diketahui polemik itu berawal dari keluarnya kebijakan sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) yang menyatakan perubahan nominal biaya UKT untuk mahasiswa baru di tahun ajaran 2024/2025. Kenaikan tarif UKT itu tergolong tinggi. Di beberapa kampus, besaran kenaikan tarif UKT berkisar antara 30-50 persen.
Kenaikan biaya UKT itu berkaitan erat dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di awal tahun ini, dimana Kemendikbudistek mengeluarkan peraturan tentang perubahan biaya pendidikan tinggi dalam Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, tentang perubahan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi pada PTN.
Berdasarkan aturan itu, penetapan tarif UKT secara jelas diatur di Pasal 6. Tarif UKT wajib ada minimal dua kelompok tarif, kelompok I dengan tarif sebesar Rp 500.000 dan kelompok II dengan besaran Rp 1 juta.
Di luar kedua kelompok itu, PTN berhak menetapkan kelompok tarif lainnya dengan nominal paling tinggi sama dengan nilai biaya kuliah tunggal (BKT). Tapi pada praktiknya, bahkan ada kasus salah satu perguruan tinggi ternama menaikan biaya UKT hingga 500 persen.
Terkait hal ini, Doni Koesoema Albertus Ketua Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia turut buka suara. Menurutnya pokok permasalahan tak lain karena adanya miss antara kebijakan kementerian, dengan bagaimana kementerian yang dipimpin Nadiem Makariem itu memandang realitas sosial di masyarakat.
“Karena kenaikan UKT yang sangat tinggi sampai 500 persen, itu sangat mencederai masyarakat. Apalagi dengan statement dari kementerian yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi itu bukan wajib belajar, pendidikan tinggi itu tersier education (pendidikan pilihan),” jelas Doni Koesoema waktu mengudara di program Wawasan Radio Suara Surabaya FM 100, Senin (27/5/2204).
Menurutnya, pendidikan tinggi sebagai tersier education tidak seharusnya disamakan dengan kebutuhan lain, karena merupakan kebutuhan dasar. Sehingga, dari pemerintah tetap memiliki kewajiban untuk memberikan kemudahan bagi semua masyarakat Indonesia punya akses ke pendidikan tinggi.
“Ada ketidakpahaman tentang konsep, ketidakpekaan, dan ketidakmampuan melihat realitas. Serta ketidakmampuan untuk bertanggung jawab gimana undang-undang memberikan akses pendidikan berkualitas, mulai pendidikan dasar sama pendidikan tinggi, itu yang tidak dipahami oleh para pejabat di kementerian (Kemendikbudristek),” ujarnya.
Jika dalam jangka panjang persoalan UKT ini tak kunjung selesai, Doni memprediksi akses masyarakat ke pendidikan tinggi akan semakin sedikit dan Indonesia tidak akan bisa memiliki generasi emas lain.
Apalagi kata Joko Widodo Presiden, tambahnya, persentase atau porsi penduduk Indonesia yang bergelar S1 dan S2, angkanya hanya 0,45 persen. Sementara di negara Asia lainnya, kata Doni, jumlahnya sudah 3-4 persen dari total keseluruhan penduduk masing-masing negara.
“Dampak panjangnya adalah ketika pendidikan ini dianggap sebagai bukan kebutuhan umum atau hal-hal yang res publica (bersifat publik) maka nanti akan terjadi jurang yang lebar antara yang kaya semakin pinter, semakin sukses, tetapi yang berkekurangan itu yang tidak mampu mengakses pendidikan, dia akan semakin tersingkir dalam kelompok miskin,” ungkap Doni.
Maka dari itu, Ketua Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan itu menyarankan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 yang dinilai jadi sumber permasalahan supaya direvisi.
Apalagi dalam pertemuan dengan Komisi X, Selasa (21/5/2024) pekan lalu, Nadiem Makarim Mendikbudristek dinilainya tidak jelas, apakah akan merevisi atau mengevaluasi Permen tersebut. Padahal di pasal yang tertera dalam Permen Rektor PTN dalam menaikan UKT harus memiliki izin dari Kemendikbudristek.
“Jadi janganlah kita lempar tanggung jawab, yang sekarang ini terjadi Kemendikbudristek itulah yang paling bertanggung jawab terhadap kekisuruhan UKT. Bagaimana cara negara bertanggung jawab? ya kan karena Mendikbudristek ini pembantunya Presiden, ya Presidennya harus turun tangan,” jelasnya.
“Karena kalau menterinya tidak bisa melakonakan tugas sesuai dengan amanat, berarti kan pemerintah ini gagal melaksanakan amanat dalam Undang-Undang. Sumpah Presiden itu melaksanakan Undang-Undang loh, termasuk Undang-Undang Dasar, itu yang harus dipahami,” pungkasnya. (bil/ham)