Jumat, 22 November 2024

Pakar Sebut Meningkatnya AHH Bukan Satu-Satunya Faktor Kesejahteraan Penduduk

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan
Ilustrasi - Siklus hidup manusia dari bayi hingga lansia. Foto: iStock Ilustrasi - Siklus hidup manusia dari bayi hingga lansia. Foto: iStock

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Indonesia meningkat 0,31% pada 2023 menjadi 79,93 tahun, dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 73,7 tahun.

Angka Harapan Hidup (AHH) pada 2023 mengalami kenaikan lebih tinggi dibanding rerata pertumbuhan pada periode 2020 hingga 2022. Pada periode itu, Indonesia memiliki rata-rata pertumbuhan AHH 0,22% per tahun.

Menurut data yang dirilis BPS, DKI Jakarta berada di posisi tertinggi dalam AHH di Indonesia mencapai 75,81 tahun. Disusul Yogyakarta dengan angka 75,18 tahun. Selanjutnya, Jawa Barat dengan angka 74,91 tahun. Kemudian, Riau dengan angka 74,9 tahun.

Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, AHH di Indonesia masih tergolong rendah. PBB mencatat, pada 2022 median AHH saat lahir atau life expectancy at birth di Singapura sangat tinggi, yakni mencapai 84,13 tahun. Demikian pula di Thailand, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina, dengan median angka harapan hidupnya melebihi 70 tahun.

Muhammad Atoillah Isfandiari Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, AHH bukan satu-satunya indikasi sebuah negara itu memiliki tingkat kesejahteraan penduduk tinggi atau rendah, karena ada faktor lain yang harus dibarengi yakni dengan menunjukkan kualitas SDM dan kemampuan ekonomi.

“Jadi, bukan kesejahteraan kalau saya bilang, tapi Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lebih tepatnya. Karena IPM itu disusun salah satunya dengan usia harapan hidup. ‘Nah, dua sisanya itu tingkat pendidikan pada kelompok usia 25 tahun, jadi berapa lama dia sekolah sampai umur 25 tahun. Dan yang ketiga itu adalah kemampuan ekonomi,” kata Atoillah dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (25/3/2024).

Ia mengatakan bahwa AHH menjadi tolok ukur baik buruknya sistem kesehatan di suatu negara. AHH juga dipengaruhi oleh tingkat kematian ibu dan bayi, serta kematian karena penyakit menular.

“Jika angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) turun, otomatis AHH juga naik. ‘Nah, tingkat penurunan AKI AKB ini menunjukkan kualitas layanan kesehatan ibu dan anak. Kemudian, tingkat kematian karena penyakit menular, juga berpengaruh pada naiknya AHH,” ujarnya.

Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, lanjut dia, AHH di Indonesia pada tahun 30-an menurun. Rata-rata orang Indonesia meninggal di umur 30 tahun. Hal tersebut disebabkan karena penyakit infeksi dan penyakit ringan atau penyakit yang sekarang ini masuk dalam kategori negative tropical disease (penyakit yang terabaikan).

“Semakin bagus sanitasi, semakin bagus akses ke air bersih, maka penyakit menular dan kematian akibat penyakit menular ini juga turun. ‘Nah itu juga meningkatkan AHH,” tuturnya.

Kemudian, transisi epidemiologi atau perubahan pola dari dominasi penyakit menular ke penyakit tidak menular juga menjadi salah satu faktor dari meningkatnya AHH.

“AHH itu angka formulasi, jadi banyak hal yang terkait dengan peningkatan kualitas sistem kesehatan itu yang mengerek angka harapan hidup. Selain itu, upaya individu dalam meningkatkan kesehatan atau menjaga kualitas hidup di usia yang lebih panjang itu, merupakan salah satu faktor keberhasilan kampanye kesehatan,” ungkapnya.

Selain penyakit menular, ia juga menyoroti tingkat injury dan kematian akibat kecelakaan yang juga berkontribusi pada naiknya AHH.

“Banyak negara, dengan tingginya angka kecelakaan dan kematian karena non penyakit, menjadi faktor yang menurunkan angka harapan hidup. Sehingga, upaya menurunkan tingkat kematian akibat kecelakaan sangat penting karena memberikan kontribusi pada naiknya AHH,” terangnya.

Lebih lanjut, ia membeberkan sejak tahun 50-an hingga sekarang AHH di Indonesia sudah naik 81 persen. Namun, permasalahannya hingga saat ini Indonesia belum punya catatan registrasi kematian dengan standar AHH Internasional.

“Mestinya, AHH itu dihitung berdasarkan satu-satuan yang namanya angka kematian menurut umur. Jadi per umur itu berapa yang meninggal, kemudian dihitung, lalu dirata-rata, sehingga yang diperoleh oleh BPS saat ini itu, sebenarnya adalah angka kasar,” bebernya.

Ia menjelaskan jika Indonesia mempunyai age specific death rate atau angka kematian spesifik maka dapat dilakukan prediksi terkait AHH di masa mendatang.

“Jadi kalau orang meninggal itu kan pasti ada laporan, ada formulir kematian yang harus dicatat untuk pengurusan pemakaman dan lain sebagainya. ‘Nah itu yang didata, kemudian dirata-rata. Tapi, saat ini kita masih pakai standar Dukcapil. Sehingga dengan data berdasarkan laporan Dukcapil dan data-data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, ya tentu kita menghitungnya pada saat itu juga, jadi susah untuk melakukan prediksi,” pungkasnya. (ike/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs