Penangguhan paktik Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) oleh Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi Semarang, menuai kritikan dari pakar.
Prof Hibnu Nugroho pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto mengatakan bahwa pengeluaran surat penghentian sementara harus berdasar pada penelitian internal dan mekanisme evaluasi yang melibatkan semua pihak terkait.
“Tidak bisa tiba-tiba. Harusnya ada klarifikasi terlebih dahulu. Kalau ini namanya otoriter dan itu harus dilawan,” katanya, melansir Antara.
Kritikan itu dikeluarkan Hibnu setelah surat nomor KP.04.06/D.X/7465/2024 perihal penghentian sementara aktifitas klinis yang ditujukan kepada Dr. dr. Yan Wisnu Prajoko yang juga Dekan FK Undip dirilis.
Surat tersebut ditandatangani oleh dr Agus Akhmadi Direktur Utama RSUP Dr Kariadi Semarang pada 28 Agustus 2024.
Dalam surat tersebut tertulis, “Menindaklanjuti surat Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tanggal 14 Agustus 2024 hal Pemberhentian Program Anestesi Universitas Diponegoro di RS Kariadi dan berdasarkan dugaan kasus perundungan pada PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif”.
“Bersama ini disampaikan bahwa aktivitas klinis saudara sementara dihentikan untuk menghindari konflik kepentingan sampai dengan proses penanganan kasus tersebut selesai dilakukan,” katanya.
Hal itu, artinya penangguhan atau penghentian sementara praktik dokter Yan Wisnu di RSUP dr Kariadi merupakan buntut dari meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dokter Aulia Risma Lestari yang masih dalam proses investigasi.
Ia menilai kejadian yang dialami Dekan FK Undip yang juga spesialis bedah onkologi tersebut serupa dengan kondisi yang dialami oleh Prof Budi Santoso Dekan FK Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Berdasarkan pemberitaan media, kata dia, Prof Budi dicopot jabatannya oleh rektor setelah bersuara lantang menolak rencana Kementerian Kesehatan yang ingin mendatangkan dokter asing berpraktik di Indonesia.
“Ini sama kejadiannya (dengan kasus penghentian Dekan FK Unair),” katanya.
Secara hukum, Hibnu menyarankan pihak Undip bisa melayangkan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang.
“Harusnya civitas Undip kompak. Ini harus diperjuangkan, salah satunya melalui PTUN,” katanya.
Mengenai inti persoalan penyebab meninggalnya mahasiswi PPDS Undip dokter Aulia Risma, ia mengatakan, proses itu menjadi kewenangan pihak kepolisian.
Sebab, kata dia, persoalan tersebut masuk pada ranah pidana, sedangkan Kemenkes hanya memiliki kapasitas administrasi.
“Jadi tidak bisa melakukan justifikasi melalui media,” katanya.
Selain itu, Hibnu juga meminta semua civitas academica dapat memerangi praktik perundungan sehingga perlu ada evaluasi dalam upaya melakukan perbaikan.
“Kalau betul itu (terjadi perundungan, red.) terjadi maka harus ada perbaikan. Tapi ketika belum cukup bukti maka jangan terlalu dini untuk menggiring opini terjadi perundungan, apalagi sampai dugaan bunuh diri,” katanya.
Sementara itu, keputusan penangguhan praktik Dekan FK Undip juga disayangkan oleh Wijayanto Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro.
“Di dalam kasus PPDS, Undip sudah melakukan investigasi internal,” katanya.
Menurut dia, Undip, sebagaimana disampaikan rektor di berbagai kesempatan menegaskan bahwa kampus terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar, baik kepolisian maupun Kementerian Kesehatan.
Bahkan, kata dia, jika memang terbukti ada perundungan maka hukuman untuk pelaku jelas dan tegas, yakni drop out alias dikeluarkan.
Namun, ia mengatakan bahwa faktanya saat investigasi itu masih jauh dari kata selesai ternyata penghakiman, bahkan hukuman sudah dilakukan berkali-kali terhadap FK Undip.
Hukuman pertama, berupa penutupan PPDS Undip yang dilakukan Kemenkes pada 14 Agustus 2024, kata dia, jauh sebelum penyidikan atas kasus itu rampung dan ada keputusan dari polisi, apalagi pengadilan.
Penutupan program studi itu, dia menilai, tidak hanya merugikan 80-an mahasiswa PPDS lainnya, namun juga masyarakat yang mesti panjang mengantre karena kelangkaan dokter di RSUP dr Kariadi.
Hukuman kedua, kata dia, baru saja diberikan kepada dokter Yan Wisnu Prajoko selaku Dekan FK Undip yang ditangguhkan praktiknya di RSUP dr Kariadi, bahkan sebelum hasil investigasi keluar.
“Yang melakukan pemberhentian itu adalah direktur rumah sakit (RSUP dr Kariadi, red.). Kami mendengar Pak Dirut mendapat tekanan luar biasa dari Kementerian Kesehatan sehingga mengeluarkan keputusan itu,” katanya.
Ia menilai penangguhan praktik dokter spesialis bedah onkologi itu merupakan hukuman kedua yang diberikan oleh Kemenkes atas kasus yang sebenarnya masih dalam tahap investigasi, dan hukuman kemungkinan akan berlanjut.
Mengenai kasus meninggalnya mahasiswi PPDS Anestesi Undip Dokter Aulia Risma Lestari, ia mengatakan bahwa semua pihak seolah tertuju pada Undip.
“Bahkan, meskipun pada kenyataannya, seperti jelas dalam berbagai dialog, jam kerja yang ‘overload’ itu adalah kebijakan rumah sakit, dan ini adalah ranah kebijakan Kementerian Kesehatan,” katanya.(ant/kir/iss)