Hermanto anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam rapat Panja pembahasan DIM RUU DKJ, Jumat (15/3/2024) lalu, mengusulkan supaya ibu kota Indonesia kedepan dibagi menjadi tiga, sesuai dengan rumpun eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Artinya, Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) dimaksudkan menjadi ibu kota eksekutif yang berfokus untuk jalannya pemerintahan, dan Jakarta menjadi ibu kota legislatif untuk DPR, DPD maupun MPR memproduksi Undang-Undang (UU), peraturan, dan penyerapan aspirasi masyarakat.
Dia juga menyampaikan untuk rumpun Yudikatif yang terdiri mulai Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), bisa tetap di Jakarta sampai ditemukannya provinsi yang tepat.
Terkait usulan tersebut, Ekawestri Prajwaliata Widiati Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya turut buka suara. Menurutnya, ibu kota bukan sekedar wilayah yang punya keistimewaan, melainkan punya amanah dalam membentuk suatu pemerintahan yang efektif.
Sehingga, dalam menjalankan roda pemerintahan, eksistensi ibu kota akan menjadi ruang berputar segala aktivitas pemerintahan utama, berkenaan dengan bekerjanya fungsi-fungsi negara yang di dalamnya melibatkan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Kalau (usulan) itu didasarkan pada kemudahan untuk menyampaikan aspirasi, saya rasa argumentasi ini lemah ya. Karena fungsi pembentukan undang-undang itu dilakukan DPR dan pemerintah, dan beberapa yang terkait kewenangan ada juga DPD. Sehingga kalau ini dibagi, apakah justru tidak akan menghambat koordinasi?” ujar Wiwid sapaan akrabnya saat mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (18/3/2024).
Selanjutnya soal alasan kemudahan penyerapan aspirasi, menurut Wiwid seharusnya tidak didasarkan tempat. Dia mencontohkan proses terbentuknya UU IKN yang waktu itu masih bertempat di Jakarta, hanya memakan waktu 43 hari dan sangat mengejutkan masyarakat.
“Jadi aspirasi masyarakat itu justru digantungkan pada kemauan pemerintah untuk membuka dirinya terhadap proses pengambilan keputusan agar masyarakat bisa mengkritisi, bertanya, dan memastikan bahwa pendapatnya itu didengar, ditindaklanjuti oleh pemerintah,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya fungsi legislasi tidak bisa hanya dijalankan DPR maupun anggota parlemen saja, karena harus berkoordinasi dengan presiden. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga dijelaskan bahwa presiden mempunyai hak mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kemudian disepakati bersama dengan DPR.
“Jadi kalau misalnya dikatakan fungsi legislasi itu hanya di Jakarta saja, rasanya agak sulit untuk dibayangkan karena pembentukan undang-undang itu kan harus mempertemukan legislatif dan eksekutif,” sebutnya.
Sebagai informasi, UU IKN sebagai dasar hukum untuk penataan ibu kota baru tersebut juga mengatur mulai dari perencanaan, tata ruang, hingga rencana pemindahan lembaga negara. Termasuk menempatkan baik lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif ada dalam satu wilayah.
Demikian dengan perubahan Perundang-undangan IKN tahun 2023, pemerintah berusaha mengakselerasi pembangunan IKN, dan memastikan keberlanjutan dengan meningkatkan ekosistem investasi untuk percepatan proses pemindahan seluruh komponen pemerintahan.
“Jadi pemerintah dalam hal ini bersungguh-sungguh ya dengan semua infrastruktur yang diupayakan pemerintah bisa dijalankan dari IKN,” tambah Wiwid.
Dia mengatakan undang-undang termasuk IKN merupakan hasil persetujuan legislatif dalam hal ini DPR dengan pemerintah selaku eksekutif. Sehingga, akan sangat aneh jika UU tersebut dipertanyakan kembali oleh DPRnya.
“Kalau masalah tempat tinggal, kita tahu wakil rakyat kita berasal dari Dapil. Mereka sebenarnya memang berdomisili di Jakarta, tapi asalnya dari banyak daerah. Jadi menurut saya harusnya pembenahan bagaimana masyarakat kemudian bisa menyampaikan aspirasinya, bukan karena alasan kemudahan satu di Jakarta, satu di IKN,” jelasnya.
Karenanya, pakar hukum tata negara Unair itu pesimis usulan tiga ibu kota tersebut dapat diterima. Daripada meributkan soal pembagian ibu kota menjadi tiga, menurutnya masih banyak masalah yang harus diselesaikan dari pembangunan IKN. Mulai dari pembebasan tanah, konversi tambang, dan lingkungan yang kemungkinan tercemar.
“Masih banyak yang harus dijadikan kajian, dan kerentanan konflik sosial yang muncul di sekitaran masyarakat IKN yang terpaksa minggir (tergusur). Mereka yang aspirasinya seharusnya didengar,” pungkasnya. (bil/ham)