Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mencabut dan merevisi 21 pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang diundangkan melalui UU Nomor 6 Tahun 2023.
Putusan ini diambil setelah menerima permohonan pengujian konstitusional yang diajukan oleh Partai Buruh, yang mengkritik sejumlah ketentuan dalam UU tersebut. Beberapa perubahan utama termasuk pemisahan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja, pembatasan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dengan mengutamakan tenaga kerja Indonesia, serta pembatasan durasi kontrak kerja waktu tertentu (PKWT) maksimal 5 tahun.
Selain itu, MK juga mengembalikan opsi libur dua hari seminggu bagi pekerja, memperkuat perlindungan hak atas upah yang layak, dan menegaskan perlunya dewan pengupahan yang melibatkan pemerintah daerah dalam penetapan kebijakan upah.
Putusan MK juga menghidupkan kembali ketentuan upah minimum sektoral (UMS) dan memastikan peran serikat pekerja dalam pengaturan upah. MK menekankan bahwa struktur dan skala upah harus mempertimbangkan faktor seperti masa kerja, golongan, jabatan, serta kompetensi pekerja, bukan hanya kemampuan perusahaan.
Selain itu, MK menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) harus melalui perundingan bipartit dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat putusan inkrah dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Keputusan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja dan memberikan kejelasan hukum dalam hubungan kerja di Indonesia.
Menyikapi hal ini, Suhariwanto Pakar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Surabaya (Ubaya) mengatakan, meski MK mencabut beberapa pasal, hal ini tidak berarti bahwa aturan-aturan tersebut inkonstitusional.
Sebagai contoh, salah satu revisi penting terkait penempatan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia. Sebelumnya, aturan yang ada mengizinkan penggunaan TKA hanya dalam hubungan kerja dengan syarat tertentu, seperti jabatan yang spesifik dan kualifikasi yang tinggi.
“Namun, dengan putusan MK, penempatan TKA harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia terlebih dahulu, sehingga hanya jika tidak ada tenaga kerja lokal dengan kualifikasi yang sama, barulah TKA dapat dipekerjakan,” kata Suhariwanto saat on air dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (5/11/2024) pagi.
Selain itu, ada perubahan aturan mengenai waktu kerja dan penyelesaian pekerjaan tertentu. Dalam aturan lama, batasan waktu kerja untuk kontrak jangka waktu tertentu tidak diatur secara jelas, namun kini MK mengharuskan bahwa kontrak kerja tersebut tidak boleh lebih dari lima tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, pekerja harus diangkat sebagai pekerja tetap.
MK juga merevisi Pasal 79 tentang waktu istirahat. Jika sebelumnya hanya diberikan satu hari libur untuk enam hari kerja, kini diubah menjadi dua hari libur dalam seminggu, apabila perusahaan memberlakukan lima hari kerja dalam seminggu.
Dengan kata lain, pekerja yang bekerja lima hari dalam sepekan, akan mendapat dua hari libur. Hal ini memberikan kejelasan dan keseimbangan lebih bagi pekerja.
Putusan MK ini tentunya membawa dampak besar, baik bagi pekerja maupun dunia usaha. Suhariwanto menekankan bahwa keputusan MK harus segera direspons oleh pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Presiden. Pasalnya, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja yang tumpang tindih, dan ini bisa membingungkan baik pekerja maupun pengusaha.
Bagi pekerja, beberapa perubahan ini memberikan kepastian hukum yang lebih jelas. Misalnya, dengan adanya batasan waktu pada kontrak kerja (PKWT) yang sekarang hanya bisa berlangsung maksimal lima tahun.
Pekerja yang sebelumnya dipekerjakan dengan kontrak yang lebih lama, kini berhak mendapatkan kompensasi dan diangkat menjadi pekerja tetap setelah masa kontraknya selesai.
Soal pengupahan, MK mengubah Pasal 88 Ayat 2, yang sebelumnya mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan pengupahan.
Kini, pemerintah daerah juga dilibatkan dalam menentukan upah minimum sektoral, sehingga daerah memiliki peran lebih besar dalam menentukan standar upah di wilayahnya.
Setelah putusan MK, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan segera. Suhariwanto menambahkan bahwa untuk memastikan pelaksanaan keputusan MK, diperlukan kerja sama antara dinas tenaga kerja, serikat pekerja, dan asosiasi pengusaha (Apindo).
Pengawasan juga harus diperkuat, mengingat jika hanya mengandalkan dinas tenaga kerja yang jumlahnya terbatas, penyalahgunaan aturan bisa terjadi.
Salah satu isu yang dikhawatirkan adalah dampak perubahan ini terhadap UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), yang menurut Suhariwanto, tidak akan mampu mengikuti semua aturan ketenagakerjaan yang lebih ketat, terutama yang terkait dengan pengupahan dan hak-hak pekerja.
Untuk itu, perlu ada skema khusus bagi UMKM agar mereka tidak terpuruk akibat kewajiban yang terlalu membebani.
Selain itu, perubahan terhadap outsourcing juga patut dicermati. Menurut putusan MK, perusahaan penyedia jasa outsourcing harus berbentuk PT (perseroan terbatas), agar pengawasan dari dinas tenaga kerja dapat lebih efektif. Jika perusahaan outsourcing tidak berbentuk PT, maka perusahaan tersebut dianggap ilegal.
Meskipun MK telah membuat keputusan yang sangat penting, pembentukan UU Ketenagakerjaan yang terpisah dari UU Cipta Kerja kini menjadi sebuah keharusan.
Suhariwanto menyarankan agar pemerintah segera merancang undang-undang baru yang lebih jelas dan terpisah, mengingat banyaknya cluster ketenagakerjaan yang tercampur dengan aturan-aturan lain dalam UU Cipta Kerja.
Dengan keputusan MK yang sudah langsung berlaku, kini para pekerja dan pengusaha harus mematuhi aturan-aturan baru ini.
Tapi jika ada ketidaksesuaian atau keberatan, baik pengusaha maupun pekerja, masih punya kesempatan untuk mengajukan uji materi terhadap aturan-aturan tersebut. (saf/ham)