Agus Muttaqin Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jatim menyebutkan, pada 2018 lalu telah menemukan lima kajian terkait penggunaan Bahasa Indonesia oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pertama, Agus masih menemui kesalahan dalam penulisan informasi di ruang pelayanan. Kedua, penyelenggara layanan kurang mencermati hasil kerja staf dalam merangkai informasi publik.
“Salah satu contoh yang pernah saya temui adalah informasi di ruang pelayanan tidak mengacu pada standar kaidah bahasa yang benar. Nah, ini kadang oleh pimpinan unit kerja tidak dikoreksi kembali,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Senin (11/11/2024).
Ketiga, penyelenggara layanan tidak bisa menempatkan penggunaan bahasa asing atau Bahasa Indonesia. Kemudian yang keempat, penyingkatan kata yang tidak sesuai dengan kaidah.
“Saya pernah temui di sebuah rumah sakit ada singkatan IRD tapi tidak dijelaskan kepanjangan. Kalau hanya ditulis singkatan, orang mana tahu,” lanjutnya.
Kelima, kata Agus, penyelenggara layanan publik yang tidak kompeten memunculkan rendahnya kepatuhan terhadap standar pelayanan.
“Kajian ini kami lakukan dengan mengecek beberapa data dan dokumen yang memang menjadi referensi pada standar pelayanan,” ungkapnya.
Sementara itu, Agus mengatakan pihaknya telah melakukan penilaian kepatuhan terkait standar pelayanan tiap tahunnya. Hal itu dilakukan untuk mencegah adanya maladministrasi pada pelayanan publik.
Jika hasil dari penilaian ombudsman ditemukan ada pelanggaran, Agus menyampaikan tidak akan ada konsekuensi hukum, tapi konsekuensi administrasi yang menyangkut kebijakan di level pusat.
“Jadi kami sampaikan ke kepala daerah, kalau penggunaan bahasa indonesia termasuk dalam standar pelayanan. Kalau penyelenggara layanan publik tidak sesuai, artinya tidak patuh. Nah ketidakpatuhan ini akan berdampak pada nilai RB, alokasi DID,” tuturnya. (kir/saf/ipg)