Jumat, 22 November 2024

Migrant Care Ungkap Sarjana hingga Ahli Teknologi Paling Rawan Terjebak Scamming Online

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi. Penipuan. Foto: Pixabay

Kasus perusahaan abal-abal mengajak warga negara Indonesia (WNI) bekerja di luar negeri berujung human trafficking masih jadi pekerjaan rumah yang perlu dibereskan.

Pasalnya, menurut Arina Widda Faradis, staf divisi bantuan hukum migran di Migrant Care, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI), terungkap ada sejumlah perubahan signifikan dalam pola human trafficking pada zaman dulu dengan sekarang.

Kata Arina, dulu mayoritas korban perdagangan orang berasal dari daerah pedesaan yang minim informasi atau memiliki riwayat pendidikan rendah. Namun sekarang, dengan skema online scamming, korbannya justru berasal dari kalangan sebaliknya.

“Banyak yang berasal dari kota-kota besar, bahkan mereka ini ada yang dari Jakarta dan juga ada kota-kota besar yang lainnya. Selain itu terkait dengan tingkat pendidikan, mereka tidak hanya tidak berasal dari pendidikan yang menengah ke bawah, tapi justru banyak juga yang dari lulusan SMA, S1, bahkan ada yang pascasarjana,” jelas Arina waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (8/7/2024).

Para korban ini, menurutnya merupakan kalangan yang paham dan tertarik bekerja di sektor teknologi, sehingga rentan diincar oleh perusahaan abal-abal dan diiming-imingi posisi menjanjikan di sektor tersebut. Hal inilah yang membuat mereka lebih rentan terjebak dalam modus penipuan skema online scamming.

Arina menegaskan, sudah jadi tanggung jawab negara untuk melindungi para WNI yang jadi korban human trafficking itu. Namun, permasalahan bermula saat mereka berangkat ke negara tujuan tidak sesuai prosedur.

Dia memastikan, saat para pekerja migran Indonesia (PMI) bekerja di luar negeri secara prosedur, melewati kantor imigrasi dan sebagainya, maka semua akan tercatat, di mana mereka bekerja, siapa pengguna jasanya, hingga kontak yang bisa dihubungi.

Tapi ketika berangkat tidak secara prosedur, maka catatan itu tidak ada. Jadi misalkan di beberapa kasus, mereka tidak masuk di jalur imigrasi yang sah. Jadi bahkan (catatan) imigrasi negara mereka berada pun tidak ada record di mana mereka masuk. Itu juga menjadi salah satu masalah yang jatuh yang menyulitkan terkait dengan perlindungan,” ucapnya.

Data dari Kementerian Luar Negeri menunjukkan dari tahun 2020 hingga Maret 2024, terdapat 1.914 korban di Kamboja, 332 di Myanmar, dan beberapa di negara lain. Kamboja menjadi salah satu negara dengan jumlah korban tertinggi.

Arina juga mengungkapkan, korban human trafficking di sektor scam online ini tidak hanya menghadapi kondisi kerja yang sangat buruk, seperti jam kerja panjang dan minim istirahat. Tetapi juga tekanan fisik seperti pemukulan dan penyiksaan jika tidak memenuhi target.

Kini, kata dia, Migrant Care tengah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk membebaskan korban human trafficking yang terlanjur terjebak di negara berkonflik, seperti di Myanmar. Bahkan, ada salah satu korban yang belum bisa dipulangkan sejak meminta pertolongan sejak 2022 lalu.

“Karena mereka berada di wilayah konflik, di mana pemerintahan Myanmar sendiri tidak bisa menjangkau itu. Dan itu menjadi salah satu tantangan yang cukup berat untuk saat ini, untuk mengevakuasi teman-teman kita yang masih terjebak di sana,” bebernya.

Oleh karena itu, Arina juga berpesan kepada masyarakat khususnya kaula muda yang masih aktif mencari pekerjaan supaya lebih berhati-hati dan teliti menanggapi lowongan. Apalagi, seiring perkembangan zaman, para pelaku human trafficking punya banyak trik untuk memanipulasi korban

“Untuk masyarakat, terutama yang berusia muda, mohon untuk segala informasi pekerjaan di-cross check terlebih dahulu apapun itu, karena prekrut scam online tidak serta-merta memberikan keterangan posisi (pekerjaan),” ucapnya. (bil/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs