Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bakal meniadakan sistem pembayaran parkir secara manual, sebagai bentuk evaluasi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor parkir. Rencananya, pembayaran parkir di tepi jalan umum akan dilakukan secara digital dan diterapkan mulai 1 Februari 2024 mendatang.
Namun metode itu ditolak oleh Paguyuban Juru Parkir Surabaya (PJS). Penolakan terjadi saat Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya melakukan uji coba pembayaran digital di Jalan Tunjungan pada Minggu (7/1/2024) siang dan terjadi hingga hari ini, satu pekan sebelum kebijakan itu diterapkan. Apa penyebabnya?
“Kami menolak karena belum ada sosialisasi dan belum ada pembicaraan,” ungkap Fadholi Feriansyah Wakil Ketua Paguyuban Juru Parkir Surabaya (PJS) dalam diskusi “Mengurai Masalah Parkir” program Semanggi Suroboyo Radio Suara Surabaya FM 100, Jumat (26/1/2024).
Pembicaraan yang Feri maksud adalah sosialisasi dan diskusi yang seharusnya dilakukan Dishub Surabaya sebagai perpanjangan dari pemkot dengan PJS. Menurut Feri, pihaknya sudah mengirimkan surat untuk melakukan pembicaraan dengan pemkot tertanggal 11 Januari 2024, namun belum ada panggilan resmi.
Tidak hanya pada pada pemkot, PJS juga sudah menyurati Komisi C DPRD Kota Surabaya pada tanggal 16 Januari. Tapi sama, belum ada pertemuan resmi untuk menghasilkan titik temu.
Namun begitu, sejauh ini, PJS mengaku sudah bertemu dengan Dishub, Komisi C, bahkan Sekretaris Daerah Kota Surabaya setelah uji coba di Jalan Tunjungan itu. Tapi dalam pertemuan biasa, bukan sebagai balasan dari surat yang mereka kirimkan. Dalam pertemuan itu pun, para pejabat tersebut tidak bisa memutuskan sesuatu apapun tentang persoalan ini.
Karena itu, Feri mengutarakan ingin bertemu dengan Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya untuk membicarakan kebijakan pembayaran parkir tersebut.
“Di semua pertemuan, mereka bilang kalau hanya melaksanakan tugas. Makanya kami perlu diskusi dengan Pak Wali,” tambahnya.
Menurutnya, pertemuan itu untuk membicarakan titik temu antara kebijakan pemkot dengan aspirasi para jukir. “Kalau pembagian (pendapatan) dan kesejahteraan sudah jelas, setuju,” katanya.
Kesejahteraan yang dimaksud menurutnya, meliputi keamanan, kesehatan, dan pendampingan sebagai pertanggungjawaban kerugian kalau ada barang (pengguna jasa parkir) yang hilang.
Sebagai gambaran, target PAD sektor parkir tepi jalan umum tahun 2023 Kota Surabaya adalah Rp60 miliar. Namun hingga akhir Desember, realisasinya adalah Rp23 miliar.
Sama halnya di tahun 2022, yang ditarget Rp36 miliar, terealisasi Rp18 miliar. Jumlah ini yang kemudian menjadi salah satu data bahwa PAD sektor parkir tepi jalan umum bocor.
Sementara itu, dari keterangan yang diterima suarasurabaya.net dari Dishub Kota Surabaya, skema bagi hasil yang dilakukan saat ini adalah 60 persen pendapatan untuk Dishub, 35 persen untuk juru parkir, dan 5 persen untuk kepala pelataran (katar).
Angka itu berubah dari skema sebelumnya yaitu 70 persen untuk Dishub, 20 persen untuk jukir, dan 10 untuk katar.
Dari data yang sama, saat ini jumlah titik parkir di Surabaya ada 1370 titik dengan jumlah jukir utama 1.732 orang dan 629 orang sebagai jukir pembantu. Sementara katar berjumlah 37 orang.
Jukir yang Diresahkan
Diskusi terus berjalan dan telepon berdering. Beberapa pendengar Radio Suara Surabaya bergabung untuk memberikan pertanyaan dan pernyataan tentang parkir tepi jalan umum yang sedang dibahas.
Seperti Pamungkas yang meminta PJS untuk melakukan evaluasi internal. Menurutnya, sering kali saat menggunakan jasa parkir di tepi jalan umum, dirinya tidak mengetahui mana jukir yang resmi dan yang tidak.
“Parkir resmi memakai seragam dengan logo Dishub dan memiliki KTA (kartu tanda anggota),” kata Sahlan Koordinator PJS Wilayah Selatan Kota Surabaya.
Sahlan menjelaskan, untuk memiliki KTA, seorang jukir harus mendaftar ke Dishub Surabaya. Untuk mendaftar, jukir tersebut harus memiliki KTP Kota Surabaya. Begitu juga jukir pembantu, mereka memiliki KTA Jukir Pembantu yang dikeluarkan Dishub.
Selain itu, dia juga menjelaskan tentang generalisasi yang selama ini dilakukan masyarakat pada kenakalan jukir. Masyarakat sering kali resah pada jukir di wilayah halaman usaha seperti toko makanan, cafe, dan minimarket. Padahal, keduanya berbeda.
Jukir yang mengelola tempat parkir di halaman usaha merupakan orang yang mendapat rekomendasi dan izin dari pemilik usaha. Mereka membayar pajak pada Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Surabaya. Sedangkan jukir di tepi jalan umum mendaftar keanggotaan dan membayar retribusi ke Dinas Perhubungan Kota Surabaya.
Ada juga Christopher, pendengar SS yang mengusulkan sebaiknya jukir tidak dibayar dengan bagi hasil, melainkan dengan sistem gaji. Menurut Feri, hal itu mungkin saja dilakukan jika kesejahteraan semua jukir diperhatikan.
“Kalau jukir pembantu juga digaji, saya setuju,” katanya.
Sekadar diketahui, jika nanti pembayaran parkir secara digital diberlakukan, ada tiga pilihan yang disediakan. Yaitu tapping e-Money pada alat parkir meter, scan barcode dengan QRIS, dan membayar dengan voucher. (ham/ipg)