Jumat, 22 November 2024

Mantan Rektor Universitas Udayana Dituntut 6 Tahun Penjara Terkait Korupsi Dana SPI

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Terdakwa Prof. Dr. I Nyoman Gde Antara, mantan Rektor Universitas Udayana menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Denpasar, Bali, Selasa (23/1/2024). Foto: Antara

Terdakwa Prof. Dr. I Nyoman Gede Antara, mantan Rektor Universitas Udayana (Unud) Bali, dituntut 6 tahun penjara terkait kasus korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) dalam penerimaan mahasiswa baru seleksi jalur mandiri tahun akademik 2018-2022.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa atas kesalahannya dengan pidana penjara selama enam (6) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan,” kata Nengah Astawa, JPU, di hadapan hakim Agus Akhyudi dan kawan-kawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Selasa (23/1/2024), dikutip Antara.

Nengah Astawa dan kawan-kawan Jaksa Penuntut Umum menyatakan, terdakwa I Nyoman Gede Antara terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 65 KUHP sebagaimana dakwaan kedua.

Selain pidana badan, Jaksa juga menuntut Prof. Antara dengan pidana denda sebesar Rp300 juta dengan subsider tiga bulan kurungan.

Penuntut Umum menilai bahwa dakwaan kedua lebih tepat dibuktikan atas perbuatan terdakwa dimana dalam persidangan terungkap dengan jelas dan terang bahwa pungutan SPI terhadap calon mahasiswa baru seleksi Universitas Udayana merupakan salah satu tarif layanan akademik seharusnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Namun, SPI yang dipungut terdakwa tidak ditetapkan sebagai Tarif Layanan BLU Unud sebagaimana PMK 51/PMK.05/2015 dan PMK95/PMK.05/2022, melainkan hanya didasarkan atas keputusan rektor Unud.

Bahkan, kata JPU, terdapat beberapa program studi yang tidak dikenakan SPI berdasarkan SK rektor, namun tetap dikenakan pungutan SPI dalam website atau sistem pendaftaran dipungut SPI.

Terdakwa Nyoman Gde Antara dinilai JPU telah melakukan pengenaan atau pungutan SPI dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Penerimaan Mahasiswa Seleksi Jalur Mandiri tahun akademik 2018/2019, 2019/2020 dan 2020/2021 serta dalam kapasitasnya selaku Rektor Unud tahun akademik 2022-2023.

Adapun jumlah pungutan SPI secara keseluruhan sebesar Rp274.570.092.691 termasuk di dalamnya 347 calon mahasiswa baru yang memilih program studi yang tidak masuk dalam Keputusan Rektor Universitas Udayana dengan nilai total pungutan Rp4.002.452.100.

JPU menjelaskan uang hasil pungutan SPI tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana, namun dalam hal ini pungutan SPI disimpan bukan dalam bentuk deposito sebagai investasi jangka pendek, di mana uang tersebut disimpan di rekening giro RPL 037 BLU Unud dicampur dengan pendapatan Unud lainnya dengan jangka waktu antara tiga sampai empat tahun pada Bank mitra, di antaranya Bank BTN Rp50 miliar, Bank BPD Bali Rp70 miliar, Bank Mandiri Rp30 miliar dan Bank BNI lebih dari Rp100 miliar.

Uang tersebut dijadikan agunan oleh terdakwa Nyoman Gede Antara, istri terdakwa dan pejabat Unud lainnya, sedangkan jaminan atau agunan untuk memperoleh fasilitas kendaraan yang digunakan.

Akibatnya, sebagian besar mahasiswa tidak mendapatkan manfaat dari pungutan SPI tersebut, karena sarana dan prasarana di Unud yang menjadi salah satu syarat standar pelayanan minimum dalam kegiatan belajar mengajar masih sangat minim, tidak memadai dan banyak yang rusak.

“Pasal 12 huruf UU Tipikor tidak mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara, sehingga uang akumulasi tersebut tidak dibuktikan sebagai kerugian keuangan negara,” kata JPU. (ant/azw/iss/ipg)

Berita Terkait

Jumat, 22 November 2024
Kurs