Ady Setyawan seorang pegiat sejarah yang mendirikan komunitas sejarah Roode Brug Soerabaia melakukan perjalanan ke pedalaman hutan Kalimantan untuk mencari bangkai pesawat Glen Martin M574, yang hilang sekitar 83 tahun lalu.
Perjalanan itu ia tempuh, setelah seorang temannya, Bas Krueger seorang periset asal Belanda yang membidangi jejak perang dunia II di dinas Cultureelerfgoed Pemerintah Belanda melontarkan pertanyaan kepada dirinya tentang bangkai pesawat Belanda di Indonesia.
“Suatu hari Bas bertanya, apakah saya tertarik mencari bangkai pesawat Belanda di pedalaman hutan Kalimantan. Satu kalimat pertanyaan pembuka itu sudah lebih dari cukup untuk membuat saya antusias,” kata Ady kepada suarasurabaya.net pada Rabu (4/9/2024).
Ady bergelora melakukan pencarian itu, karena ia merasa punya rasa tertarik yang sama akan wreck kapal maupun pesawat era Perang Dunia II, sehingga dirinya mendiskusikan lebih lanjut soal temuan-temuan tersebut.
Sebelum memulai perjalanan, Ady terlebih dahulu minta Bas cerita tentang pesawat tersebut. Ady mendapat cerita bahwa Glenn Martin M574 merupakan pesawat bomber bagian dari kelompok patroli 1-VLG III yang terbang dari Cililitan menuju Tarakan pada 3 Januari 1941.
Ada tiga pesawat bomber yang meninggalkan landasan pacu Cililitan waktu itu. Sesaat setelah lepas landas meninggalkan Cililitan, M574 yang dipiloti oleh Sersan Udara Ernest van Galen terpisah dengan dua pesawat lain akibat cuaca yang buruk.
Ernest van Galen sebelumnya adalah pilot penerbangan sipil KNILM/Koninklijk Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij. Penerbangan menuju Tarakan itu adalah penerbangan perdananya sebagai pilot militer.
Di dalam pesawat itu turut pula Kopral Mekanik Harry Janssen sebagai seorang mekanik pesawat. Haery bukan hanya bertanggungjawab atas mekanisme pesawat saat di darat tetapi juga harus ikut terbang bersama pesawat yang ditangani. Di langit ia bertugas juga sebagai penembak. Setelah terjebak cuaca buruk dan berputar-putar selama satu jam, pilot memutuskan untuk kembali ke Cililitan dan akan melanjutkan penerbangan keesokan harinya.
Pada 4 Januari 1941, Ernest van Galen menerbangkan M574 dan berhasil mendarat di Tarakan. Waktu itu, Letnan Satu J.C Timmer dan seluruh anggota kru patroli 1-VLG III menanti. Turun dari pesawat, Letnan Satu J.C Timmer langsung memaki-maki Sersan Ernest van Galen dengan hebat karena telah berputar balik.
“Inilah perbedaan pilot sipil dan militer, satu memikirkan nyawa penumpang dan unit pesawat, lainnya berpikir untuk menuntaskan misi apapun resikonya,” ceritanya.
Masih di hari yang sama, dua bomber M574 dan M575 diperintahkan terbang ke Samarinda untuk melakukan pengisian bahan bakar untuk keperluan patroli panjang. Masih diliputi emosi, Letnan Timmer menghukum Harry Janssen dan melarangnya untuk ikut penerbangan selama satu bulan.
Timmer kemudian naik ke dalam pesawat sebagai pilot utama dan ia berniat memberi pelajaran kepada Ernest van Galen tentang bagaimana menjadi pilot militer yang baik. Harry Janssen yang mendapat hukuman larangan terbang menyelinap masuk ke dalam pesawat namun ketahuan oleh Letnan Timmer. Hal itu membuat kemurkaannya menjadi-jadi. Posisi Harry Janssen kemudian digantikan oleh Kopral mekanik Jan van Valen.
Kedua bomber tersebut kemudian mengudara bersamaan, M574 terbang di ketinggian 800 meter dan M575 di ketinggian 1.500 meter, kontak radio berjalan lancar pada awalnya. Setelah terbang selama 22 menit, hujan deras menyambut kedua pesawat dan komunikasi terputus.
M575 berhasil mendarat di Samarinda dan menanti kedatangan M574 yang tak kunjung terlihat. Bandara Tarakan pun mengabarkan bahwa M574 tidak berputar kembali ke pangkalan. Beberapa jam kemudian pesawat M574 dinyatakan hilang.
Setahun kemudian, pada bulan Januari 1942 sekelompok patroli infantri pasukan KNIL menemukan reruntuhan M574. Mereka saat itu sedang dalam misi pencarian pesawat bomber Glenn Martin M571. Namun, justru menemukan M574 yang hilang setahun sebelumnya.
Tim kecil itu menemukan empat kerangka manusia yang kemudian dikubur di samping pesawat, di mana seharusnya ada lima jenazah. Tentang nasib satu orang lainnya masih belum jelas hingga saat ini, apakah ia berhasil menggunakan kursi lontar, atau selamat dalam kecelakaan lalu meninggal tersesat di dalam lebatnya hutan belantara Kalimantan.
Mendengar kisah itu, Ady tak berpikir panjang, ia langsung membuat rencana. Kemudian berangkat menuju Berau pada Jumat 30 Agustus 2024 dan tiba di Bandara Kalimarau pukul 20.00 WIB.
Ady kemudian menaiki mobil yang dikemudikan oleh Deni seorang driver asal Berau menuju desa Long Keluh. Perjalanan darat itu memakan waktu sekitar empat jam dengan melintasi jalanan tanah yang tidak muncul di peta google. Jalanan tersebut, kata Ady, dibangun oleh perusahaan tambang dan perusahaan pemotongan kayu.
Ady tiba di desa Long Keluh pada malam hari. Ia kemudian mencari rumah Paulus orang Suku Dayak yang akan memandu perjalanan menuju lokasi bangkai pesawat.
“Tidak sulit mencari rumah Pak Paulus. Petunjuknya cukup sederhana, rumah bercat merah putih tepat di samping tower,” ucapnya.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi. Ia berangkat menuju lokasi bangkai pesawat didampingi oleh Paulus. Dalam perjalanan tersebut, ternyata Rubika istri Paulus dan Juriyani putri Paulus juga ikut turut melakukan perjalanan. “Ingin refreshing katanya,” kata Ady.
Rombongan tersebut naik mobil sejauh tiga km hingga jalan terputus. Setelah itu mereka turun dan berjalan kaki.
Dua setengah jam pertama mereka habiskan dengan menyusuri aliran sungai. Sebagian dari badan terendam air. Keluar dari sungai, mereka mulai mendaki, tak ada jalan setapak, semua tertutup tanaman liar.
“Pak Paulus sangat lihai dengan mandaunya, antara tangan dan mandau itu seakan sudah sejiwa menyatu. Kemiringan lereng antara 50 hingga hampir 70 an derajat, cukup curam,” jelasnya.
Selama perjalanan, ia menemukan banyak vegetasi di sepanjang jalur. Ada juga tanaman berduri yang dengan buas merobek tas, pakaian hingga kulit tubuh.
“Beberapa duri mengandung racun, ketika masuk menembus kulit akan terasa panas yang menyengat. Belum lagi kami harus melintasi satu area saat mendekati lokasi jatuhnya pesawat yang dipenuhi dengan koloni semut api. Tak ada satupun dari kami yang selamat dari gigitannya, namun hanya saya yang berteriak kesakitan,” ceritanya.
Dalam perjalanan itu, mereka berbagi cerita. Desa Long Keluh sebagai desa terdekat dengan posisi jatuhnya pesawat, menurut Paulus baru ada sekitar awal tahun 1980. Jalan darat menuju Long Keluh baru dibangun tahun 2000-an. Sebelum ada jalan darat, warga Long Keluh menggunakan transportasi perahu untuk menuju kota Berau yang berjarak lebih dari 100 km.
Paulus, kata Ady, bukan orang pertama yang menemukan bangkai pesawat, tapi Paulus pertama mendaki ke reruntuhan pesawat di tahun 80 sedangkan penemu pertama adalah rekannya yang juga suku dayak dan terjadi sekitar akhir tahun 1970-an.
Namun selama ini, tidak ada satupun warga yang tahu jenis pesawat maupun asal usulnya, apakah dari Indonesia, Jepang, Amerika atau Belanda.
Di sela istirahat, Ady juga berbicang dengan Rabika tentang medan yang mananjak hingga fisik yang kuat. Serta bercerita dengan Juriyani tentang kuliahnya.
“Ibu menjawab, katanya alam ini rumahnya, sejak kecil sudah terbiasa keluar masuk hutan naik turun gunung buat cari buah, kayu, berburu. Buah untuk djmakan sendiri, tidak mudah jual barang di sini,” ucapnya.
Setelah mendaki selama enam jam, mereka tiba di lokasi reruntuhan. Area itu dataran yang tidak luas. Pesawat menghadap dari arah Timur Laut menuju Barat Daya, bagian ekor hingga setengah badan ke depan masih bisa dikenali, angka 574 di bagian belakang juga masih terbaca meski sudah ditumbuhi lumut.
Kondisi sayap kanan juga masih bisa dilihat, sayap kiri tidak ada ditempatnya. Dua baling-balingnya terlempar terpisah sejauh 25 meter dari sayap, berada di lereng kemiringan, tergeletak bersebelahan dengan jarak sekitar tujuh meter satu sama lain. Terlihat juga salah satu mesin baling-baling menindih satu penyangga roda pesawat.
“Saya kemudian berjalan naik ke arah sayap dan ekor pesawat, nampak ada area yang cukup datar berukuran lebih kurang sekitar 100 meter persegi, kemungkinan di area inilah regu infantri KNIL menguburkan empat jenazah yang ditulis ‘dikubur di lapangan kecil samping reruntuhan pesawat’ itu,” katanya.
Tetapi, saat berada di lokasi bangkai pesawat, tiba-tiba suara gemuruh guntur datang. Mereka menganggap, hal itu sebagai tanda peringatan alam untuk segera kembali. Karena, jika hujan turun, medan terjal akan menjadi sangat licin dan berbahaya. Begitu juga sungai yang akan disusuri berpotensi banjir ketika hujan lebat.
“Dalam penilaian saya pribadi, menuju lokasi jatuhnya M574 tidak mungkin dilakukan saat musim hujan karena terlalu beresiko,” katanya.
“Pak Paulus sebenarnya sudah memperingatkan hal ini jauh hari sebelumnya. Tapi di luar dugaan, Agustus yang kami perkirakan belum turun hujan ternyata di Long Keluh sudah beberapa kali hujan deras. Kami turun dalam waktu empat jam, tiba kembali di desa menjelang senja. Sekitar pukul 19.00 WIB hujan deras mengguyur Long Keluh hingga pagi,” imbuhnya.
Saat ini, Ady sudah mengidentifikasi pesawat tersebut. Dokumentasi sudah ia ambil dan koordinat telah ia catat.
“Semoga ada campur tangan pemerintah agar tempat ini bisa dijadikan salah satu tujuan wisata sejarah dan berdampak positif pada perekonomian warga desa,” pungkasnya. (ris/bil/ipg)