Jumat, 22 November 2024

Legislator Menilai Lamanya Penyusunan Aturan Teknis Penyebab Masifnya Penolakan Tapera

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Suryadi Jaya Purnama Anggota Fraksi PKS DPR RI. Foto: istimewa

Pemerintah melalui Kantor Staf Kepresidenan, Jumat (31/5/2024), menggelar konferensi pers merespons penolakan masyarakat terhadap Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), di Jakarta.

Poin-poin hasil dari konferensi pers tersebut, salah satunya adalah pemerintah akan melanjutkan program ini dengan sosialisasi public hearing secara masif.

Kemudian, dijelaskan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera tidak semata-mata langsung memotong gaji atau upah para pekerja non-ASN, TNI, dan Polri.

Mekanismenya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan, dan pemberlakuan kepesertaan adalah paling lambat tahun 2027.

Menanggapi hal itu, Suryadi Jaya Purnama Anggota Komisi V DPR RI menyatakan masalah utama penolakan Tapera bukan tentang sosialisasi. Tapi, karena terlalu lamanya pengundangan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.

Bahkan, penerbitan aturan turunan UU tersebut berupa PP baik pada tahun 2020 maupun 2024, perlu menunggu waktu hingga delapan tahun.

Ditambah lagi, aturan turunan tersebut akan menunggu lagi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan, sebab situasi perekonomian masyarakat saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan saat UU Tapera dibahas.

“Padahal, UU tentang Tapera pada tahun 2016 lalu mendapat dukungan dari berbagai organisasi buruh seperti Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Bahkan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) DPR RI dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBS) membahas UU ini pernah dilakukan pada 23 November 2015,” ungkapnya lewat keterangan tertulis, Minggu (2/6/2024).

Sekarang, lanjut Suryadi, sudah terlalu banyak potongan gaji yang dikenakan kepada pekerja, seperti BPJS Kesehatan yang memotong gaji 1 persen, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1 persen, Jaminan Hari Tua 2 persen, lalu PPh 21 atau Pajak Penghasilan Pasal 21 yang memotong 5-35 persen sesuai penghasilan pekerja.

“Potongan gaji pekerja dengan label wajib di atas semakin menambah trauma para pekerja, dengan adanya kewajiban menjadi peserta Tapera seperti dinyatakan Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 2016,” tegas legislator dari Fraksi PKS itu.

Ketidakpercayaan masyarakat karena adanya penyalahgunaan dana seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri juga menjadi faktor penolakan.

Sehebat apapun konsep skema pengelolaan dana yang dilakukan Badan Pengelola (BP) Tapera, masyarakat masih belum terlalu yakin.

“Belum adanya evaluasi terhadap pada pengelolaan dana Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) yang merupakan cikal bakal Tapera yang berjalan sejak tahun 1993 sampai dilebur ke Tapera pada 2018 menambah rendahnya kepercayaan masyarakat. Belum jelas, apakah sampai sekarang masih ada kesulitan pencairan uang tabungan 200 ribu PNS yang pensiun dan 317 ribu PNS yang pernah menabung di Taperum-PNS yang dananya masih ada tetapi mereka tidak dapat mengambilnya,” ungkap anggota dewan dapil NTB 1 tersebut.

Maka dari itu, dia meminta Pemerintah membuka opsi evaluasi Tapera yang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2020 lalu bagi PNS. Bahkan, jika memungkinkan, perlu ada revisi UU Nomor 4 Tahun 2016, terutama berkaitan dengan kewajiban setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi Peserta Tapera. (rid/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs