Nasir Djamil Anggota Komisi III DPR RI mengkritisi pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan bahwa ada upaya untuk mengubah pendekatan penegakan hukum korupsi dari retributif ke restoratif.
Menurut Nasir, sebaiknya Yusril Menko perlu lebih hati-hati bicara soal pendekatan restoratif tersebut terhadap pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor). Hal itu menyangkut dengan sensitivitas publik.
“Karena kita tahu indeks persepsi korupsi kita turun. Kemudian korupsi juga masih menjadi musuh bangsa karena masuk dalam kategori extra ordinary crime (kejahatan luar biasa–red) karena melibatkan kejahatan kerah putih. Korupsi politik. Korupsi yudisial,” ujar Nasir Dalam keterangannya, Sabtu (21/12/2024).
Daripada menimbulkan kegaduhan, kata dia, lebih baik wacana tersebut dihentikan. Sebaliknya, sebelum melangkah ke sana, Nasir menilai banyak hal yang harus diperbaiki, khususnya terkait moralitas pejabat.
“Karena di banyak negara korupsi itu bahkan dihukum mati. China, misalnya. Kita sayang dengan Pak Prabowo. Jadi, seolah-olah (dengan adanya wacana) ini Pak Prabowo itu dinilai memandang remeh kejahatan tindak pidana korupsi. Padahal, beliau sangat strict terkait kasus korupsi itu. Sebaiknya memang jangan mengumbar hal-hal yang kontraproduktif dalam hal upaya Pak Presiden terkait (pemberantasan) tipikor itu,” jelasnya.
Sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan menegaskan, pernyataan Prabowo Subianto Presiden yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang yang dikorup, sebagai salah satu bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery). Hal itu sejalan dengan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi.
Yusril mengatakan Indonesia masih memakai pendekatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) era kolonial Belanda dalam paradigma pemberantasan korupsi
Padahal, lanjut dia, KUHP telah diperbarui dengan UU Nomor 1 Tahun 2023 yang membuka ruang rehabilitasi dalam penegakan hukum pidana. Hanya saja, ruang tersebut belum diakomodir dalam berbagai aturan pemberantasan korupsi.
Untuk itu, pemerintah akan mengubahnya dengan tak hanya menekankan pemenjaraan yang sifatnya balas dendam seperti di KUHP warisan kolonial Belanda, tapi lebih menekankan keadilan kolektif, restoratif dan rehabilitatif. (faz/bil)