Dinas Perhubungan (Dishub) pemerintah kota (pemkot) Surabaya menegaskan, bahwa parkir resmi di bawah pengelolaaan Dishub adalah parkir tepi jalan (PTJ) dan di dalam gedung yang dikelola pemkot seperti park and ride.
PTJ yang dimaksud pun bukan yang berada di bawah rambu larangan parkir dan setop, karena itu melanggar dan berarti tidak resmi.
“Kalau yang di bawah P coret atau S coret, berarti itu gak resmi,” kata Tundjung Iswandaru Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya dalam diskusi program Semanggi Suroboyo Radio Suara Surabaya, Jumat (29/11/2024).
Sedangkan untuk parkiran di depan atau halaman toko, persil, atau rumah toko (ruko), termasuk juga parkiran mal dikelola oleh pemilik lahan.
Mereka akan membayar pajak parkir dan masuk ke pemkot melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Surabaya.
Jadi jika ada pengunjung toko modern atau minimarket yang mengeluhkan tentang parkir, Dishub Surabaya tidak memiliki kewenangan.
Namun, sering kali pengunjung dihadapkan pada adanya tukang parkir di minimarket yang membebaskan biaya parkir. Kadang, tukang parkir memaksa untuk membayar, meski ada tulisan ‘parkir gratis’ di lokasi.
Merespons itu, menurut Tundjung, kalau ada pengunjung minimarket yang merasa terganggu dengan hal itu bisa diteruskan ke penegak hukum, dalam hal ini adalah kepolisian.
“Kita gak ngasi ya gapapa. Beberapa kali polisi melakukan penindakan kok,” kata Tundjung. Penindakan yang dimaksud adalah pengenaan tindak pidana ringan atau disingkat tipiring.
Sebelumnya, Dishub Surabaya sempat melakukan inovasi dengan pembayaran nontunai untuk 1.384 titik parkir yang dikelola pemkot, seperti parkiran di Taman Bungkul, kawasan Balai Kota, atau park and ride.
Tapi menurutnya, hasilnya tidak maksimal. “Seperti dibuat-buat datanya,” kata Tundjung.
Akhirnya wacana juru parkir berkalung barcode untuk pembayaran kadang terhambat. Karena kalau tidak diawasi, kalung barcode-nya ditutupi oleh oknum juru parkir tersebut.
Tundjung bercerita, pelanggaran itu bahkan terjadi di kawasan yang dekat dengan Balai Kota Surabaya
Oleh karena itu, Tundjung berharap dukungan semua pihak untuk merealisasikan inovasi parkir dengan pembayaran nontunai ini. Masyarakat perlu berpartisipasi aktif dengan berani bayar di mesin yang tersedia atau berjalan untuk scan barcode untuk bayar parkir.
Tundjung menambahkan, parkir adalah salah satu instrumen pengendalian lalu lintas. Parkir sangat membantu apabila dijalankan dengan baik.
“Untuk titik-titik tertentu yang tingkat kepadatannya tinggi, harusnya ada pembatasan parkir,” kata Tundjung. Karena jika tidak, akan ada hambatan lalu lintas yang menyebabkan laju kendaraan menjadi rendah.
Selain itu, bisa juga dengan pemberlakuan tarif yang tinggi pada titik tertentu. Sehingga membatasi jumlah kendaraan yang parkir. Dengan begitu, hanya kendaraan yang sangat perlu saja, yang bisa parkir di kawasan tersebut.
Namun begitu, hal itu bisa terjadi jika dukungan transportasi publik yang baik serta pemerintah memfasilitasi parkir transporatasi publik dan parkir di luar gedung dengan baik. (ham/ipg)