Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap, sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang 2023. Hampir separuh, terjadi di lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren.
Aris Adi Leksono Anggota KPAI Bidang Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Budaya, menyebut 30-40 persen dari keseluruhan kasus,
“Tentu lembaga pendidikan keagamaan, jadi bagian itu. Selama awal 2024 belum cek jumlah pasti, tapi dari awal Januari, Jawa Timur saja tiga (kasus) di lembaga pendidikan keagamanan, secara nasional ya cukup banyak sekali,” katanya pada Sabtu (2/3/2024).
Trennya, kasus perundungan atau kekerasan ini naik dari tahun ke tahun.
“Data yang masuk di KPAI berbeda dengan di data yang masuk di layanan di Kementerian PPA, atau UPTD PPA. Data KPAI ini yang mengalami hambatan keadilan di bawah atau kasus besar yang butuh (perhatian) seluruh stakeholder,” bebernya lagi.
Ia menyebut, bertambahnya kasus kekerasan termasuk di pesantren ini menandakan semua pihak harus bekerja maksimal memastikan dunia pendidikan aman dan nyaman.
“Selama ini secara regulasi Kemenag sudah menyiapkan itu, ada arahan, SK Dirjen tentang pesantren pengasuhan ramah anak tapi perlu dimaksimalkan implementasinya tingkat pesantren itu sendiri. Idealnya pesantren ramah anak ya ada pembimbing menjalankan fungsi pengasuhan alternatif. Karena pesantren punya kewajiban memberi fungsi alternatif dari orang tua,” tuturnya lagi.
Ia mendorong ada peningkatan edukasi literasi perlindungan anak di lingkungan pendidikan khususnya pondok pesantren. “Biar anak-anak paham dan sadar mau menghindari,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, kasus terbaru kekerasan dialami BBM (14 tahun) santri asal Banyuwangi yang meninggal di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jumat (23/2/2024).
Jenazahnya penuh luka dan darah saat tiba di rumah duka, Sabtu (24/2/2024), kemudian pihak keluarga melapor ke polisi.
Terungkap, ia meninggal karena dianiaya empat seniornya inisial MN (18 tahun) warga Sidoarjo, MA (18 tahun) asal Nganjuk, AF (16 tahun) asal Denpasar Bali, dan AK (17 tahun) asal Surabaya. (lta/saf/ipg)