Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengajak seluruh pihak untuk mempererat kerja sama dalam upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan.
Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan menyatakan, komitmen untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan harus mencakup persoalan masa lalu, masa kini, serta mengantisipasi kekerasan berbasis gender di masa depan.
“Komitmen kita pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan mencakup persoalan di masa lalu, kini, dan juga mengantisipasi perkembangan kekerasan berbasis gender di masa depan,” ujar Andy Yentriyani dilansir dari Antara pada Rabu (17/10/2024) malam.
Andy juga menjelaskan bahwa Komnas Perempuan, sebagai lembaga yang didirikan setelah Orde Baru, merupakan “putri sulung” reformasi. Lembaga ini berdiri atas desakan masyarakat sipil untuk menuntut tanggung jawab negara terkait kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998.
Dalam menjalankan mandatnya, Komnas Perempuan menyikapi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal, publik, dan negara.
Andy menekankan bahwa hasil kerja, metode, jaringan, serta budaya organisasi yang kuat menjadi fondasi bagi Komnas Perempuan untuk terus efektif dan strategis dalam menangani isu kekerasan terhadap perempuan.
Beberapa capaian penting yang diraih oleh Komnas Perempuan meliputi delapan aspek, yaitu pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan, alat advokasi kebijakan, penanganan kasus kekerasan berbasis gender, pedoman penguatan kapasitas, platform kerja sama, peningkatan dukungan publik, akses rujukan publik, dan penguatan kelembagaan.
Salah satu bentuk capaian tersebut adalah rekomendasi yang diadopsi menjadi landasan hukum baru, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Selain itu, Komnas Perempuan juga memberikan rekomendasi untuk kebijakan daerah terkait sistem peradilan pidana terpadu dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT PKKTP) serta upaya harmonisasi kebijakan untuk menyikapi aturan diskriminatif yang muncul dalam kerangka otonomi daerah. (ant/saf/ipg)