Jumat, 22 November 2024

Komentari Fatwa MUI Soal Larangan Salam Lintas Agama, Gus Yahya: Tidak Semua Salam Bermakna Ibadah

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
KH Yahya Cholil Staquf Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Halaqah Ulama, di kantor PBNU Jakarta, Selasa (11/6/2024). Foto: PBNU

KH Yahya Cholil Staquf Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan bahwa klaim yang menyatakan semua salam termasuk dalam ibadah adalah tidak tepat.

Menurutnya, salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ibadah formal.

“Karena ada klaim bahwa assalamualaikum adalah ibadah, maka diklaim salam yang lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu. Tanya teman-teman Kristen apakah salam sejahtera masuk dalam liturgi (peribadatan Kristen)?” ujar Gus Yahya sapaan akrabnya dalam Halaqah Ulama, di kantor PBNU Jakarta, Selasa (11/6/2024).

Halaqah tersebut menyikapi fatwa MUI terkait ijtima ulama soal larangan salam lintas agama. Hadir sebagai narasumber halaqah tersebut KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) Rais Syuriyah PBNU dan KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) Ketua PBNU.

Gus Yahya menekankan bahwa penggunaan salam dalam pidato atau pertemuan tidak selalu bermakna ibadah, melainkan bisa menjadi tanda kerukunan antarumat beragama. Dia mencontohkan Paus yang tidak pernah membuka pidato pakai shalom begitu juga yang lain.

“Saya ajukan pertanyaan, apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antarumat beragama?” kata Gus Yahya.

Lebih lanjut, Gus Yahya mengklarifikasi mengenai salam “Namo Buddhaya” yang sering dianggap sebagai ibadah dalam Buddhisme. Menurutnya, Buddhisme tidak mengenal konsep ibadah dalam pengertian teistik seperti dalam agama-agama lain.

Menurutnya meditasi adalah praktik utama dalam Buddhisme, bukan penyembahan kepada Siddhartha Gautama, yang hanya dianggap sebagai panutan.

“Jangan dikira orang Buddha menyembah Buddha, enggak. Buddha cuma pemikirannya dianggap panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau dianggap mencampuradukkan ibadah, ibadah apa yang dicampur?” jelasnya.

Gus Yahya juga menyoroti pentingnya perubahan mindset di kalangan ulama dan pemikir Islam soal lintas agama. Ia menilai bahwa sebagian besar fuqaha masih terpengaruh oleh mindset era Turki Utsmani dan belum sepenuhnya menginternalisasi konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ke depan ini menjadi krusial lagi karena sekarang ini berbagai aktor yang sangat kuat bertarung melakukan mainstreaming dari gagasan-gagasan agar menjadi mindset dari masyarakat,” ungkapnya.

Gus Yahya mengajak semua pihak untuk berpikir jernih dan tidak terjebak dalam upaya mainstreaming yang tidak jelas asal-usulnya sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari fatwa agama.

“Gagasan-gagasan yang asal-usulnya tidak jelas seperti sekularisme dapat menjadi bagian dari strategi mainstreaming yang mempengaruhi tokoh agama dan ulama untuk memberikan persetujuan, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari agama. Ini sejak lama, dan kita harus berpikir jernih dalam soal itu,” tandasnya. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs