Nahar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan bahwa pacaran pada usia anak-anak sebaiknya dihindari guna menjaga kesehatan mental.
Hal itu dia sampaikan dalam “Webinar Bedah Buku: Merdeka dari Kekerasan” yang ditayangkan di Jakarta, Sabtu (4/5/2024).
Nahar mengatakan bahwa pacaran merupakan bentuk relasi personal di mana satu sama lain bisa belajar untuk saling berkomunikasi, memahami perasaan, berkomitmen memecahkan masalah saling mendukung untuk hal-hal yang positif sekaligus memahami batasan masing-masing.
“Namun sayangnya, justru banyak terjadi kasus kekerasan dalam pacaran,” katanya.
Dia menjelaskan, hal menyedihkan dalam kasus kekerasan dalam hubungan pacaran adalah relasi kuasa yang menyebabkan korban, terutama perempuan, sulit menceritakan masalahnya karena kekhawatiran seperti diputuskan hubungannya, diancam, dipermalukan.
Dalam konteks anak, dia menilai perlu ada pendampingan karena belum semua anak memahami batasan dan konsekuensi dari hubungan pacaran, apalagi saat berada di masa remaja ketika mereka mengalami perkembangan besar dari sisi biologi, psikologi, sosial, dan emosional.
Dia menjelaskan bahwa selain memiliki dampak psikologis, kekerasan termasuk dalam kategori tindak pidana, sehingga perlu diwaspadai agar dapat dibuktikan dan diberikan penanganan yang komprehensif.
Nahar menilai, pacaran pada usia anak-anak sebaiknya dihindari guna memastikan bahwa kondisi mental anak yang belum stabil tidak diganggu oleh ketimpangan relasi.
“Masalah ini harus menjadi perhatian. Umumnya anak perempuan yang selalu dalam posisi subordinat dan mudah dibujuk serta dimanipulasi dan berujung pada kekerasan dalam pacaran, termasuk hubungan seksual beresiko,” katanya.
Dia menjelaskan, setiap tahun, tren data kekerasan ini dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, namun demikian angka tersebut baru menyentuh satu persen saja dari angka estimasi prevalensi nasional baik di hasil survei nasional pengalaman hidup anak, remaja, dan perempuan maupun pengalaman survei pengalaman kekerasan bagi perempuan.
“Masyarakat sudah mulai berani untuk melaporkan namun demikian dari angka tadi maka satu persen dari jumlah total penduduk yang diestimasikan mengalami kekerasan, itu masih sangat jauh,” katanya.
Dia mengatakan, fenomena “gunung es” perlu diwaspadai, dan semua pihak perlu berkontribusi untuk menangani hal itu.
“Diperlukan upaya komprehensif untuk mengurangi kekerasan, mulai dari membuat regulasi penguatan kapasitas kelembagaan, pergeseran paradigma dan perspektif yang tidak konstruktif, hingga perubahan perilaku pada diri sendiri,” kata Nahar. (ant/azw/iss)