Arianti Anaya Direktur Jenderal (Dirjen) Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengajak diaspora tenaga kesehatan yang saat ini berada di China untuk kembali ke Indonesia.
“Jadi kami undang teman-teman yang ingin pulang, itu pertanyaan pertama, memang tidak ingin pulang? Kan lebih enak di rumah sendiri,” kata Arianti Anaya di Beijing, China, Jumat (7/6/2024).
Arianti menyampaikan hal tersebut saat bertemu dengan sekitar 15 orang dokter, tenaga medis maupun mahasiswa kedokteran yang saat ini sedang bekerja dan bersekolah di China.
Selain Arianti hadir juga Lupi Trilaksono Direktur Peningkatan Mutu Tenaga Kesehatan Kemenkes, Pattiselanno Roberth Johan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Mohammad Syahril Direktur Utama RSUP Fatmawati, Dr M Djamil Padang Dirut RSUP, Adin Nulkhasanah Dirut RS PON dan lainnya.
Arianti mengaku dulu diaspora tenaga kesehatan Indonesia sangat sulit untuk dapat kembali bekerja di Tanah Air termasuk dengan lamanya waktu pendaftaran dan adaptasi yang bahkan mencapai lima tahun atau lebih.
“Indonesia saat ini sedang membangun di bidang kesehatan, upaya luar biasa agar masalah kesehatan bisa teratasi, sekarang dalam enam bulan mereka (diaspora nakes) pasti sudah tahu penempatan di mana dan mereka tidak lagi melakukan adaptasi di universitas, kalau mereka dianggap oleh kolegium punya kompetensi cukup, hanya ujian ‘board‘ saja lalu ditunjuk ke lokasi penempatan sesuai penilaian kolegium,” jelas Arianti.
Selama masa adaptasi, dokter lulusan luar negeri juga akan mendapatkan gaji selama dua tahun. “Pada tahun kedua juga bisa langsung praktik di luar, jadi dapat dari gaji Kemenkes dan dari swasta,” ungkap Arianti.
Arianti menyebut saat ini sudah ada 19 orang nakes diaspora di Indonesia dengan aturan baru tersebut, termasuk lulusan China.
“Karena kami ingin mendorong teman-teman diaspora pulang ke Indonesia dan ilmu yang didapat di sini bisa ‘transfer knowledge‘ ke dokter-dokter di Indonesia. Pemikiran bahwa dokter luar lebih jelek harus dilupakan, kita memaksa teman-teman dokter senior tidak berpikir begitu lagi, WNA pun kalau kompetensinya dibutuhkan kita buka kesempatan,” ungkap Arianti.
Selain itu, Arianti menerangkan bahwa diaspora nakes dapat mendaftar dulu secara daring di laman https://adaptasi.kemkes.go.id dari domisili saat ini, melakukan wawancara daring dan bila sudah mendapat jawaban barulah memproses kepindahan ke Indonesia.
Pengurusan dokumen daring tersebut termasuk untuk Surat Tanda Registrasi (STR), Satuan Kredit Profesi (SKP), Surat Izin Praktik (SIP). Terlebih dengan aturan yang baru, STR tenaga kesehatan berlaku seumur hidup dan gratis, sedangkan SKP baru diminta saat perpanjang SIP.
Sehingga tidak ada campur tangan organisasi profesi selama di daerah tersebut masih membutuhkan kuota dokter spesialis, maka SIP dapat dikeluarkan.
“Jadi tidak ada waktu yang terbuang. Kami tidak mau lagi diaspora merugi karena adaptasi yang bertele-tele. Ini perkembangan yang luar biasa dan sesungguhnya saat membuat peraturan ini mendapat banyak pertentangan, tapi alhamdulillah banyak dokter-dokter terbuka, termasuk Konsil Kedokteran Indonesia(KKI)juga mendukung, sampai saat ini 19 dokter diaspora dan menunggu 50 dokter lagi untuk ujian board,” jelas Arianti.
Indonesia, menurut Arianti, juga sedang membangun rumah sakit berkelas internasional secara besar-besaran di Surabaya, Makassar, Ibu Kota Nusantara dan Papua.
“Selain itu rumah sakit vertikal lama seperti RSUP Fatmawati, RS Dharmais, juga sedang dilakukan perombakan besar-besaran dengan alat yang canggih. Kami punya dana Rp61 triliun yang dilakukan perbaikan untuk melengkapi alat-alat dari rumah sakit-rumah sakit,“ tambah Arianti.
Perbaikan lainnya, kata Arianti, adalah sistem remunerasi dokter yang bersaing dengan remunerasi rumah sakit luar negeri.
“Rumah sakit vertikal saat ini sedang ditingkatkan remunerasi, seperti RSCM, RSUP Fatmawati, RS Harapan Kita, RS Dharmais untuk remunerasi bisa sampai Rp300 juta, jadi tidak kalah di Indonesia. Fasilitasnya juga bagus, ini kami undang teman-teman diaspora untuk kembali dan mengisi kekosongan dokter di Indonesia,” kata Arianti.
Salah satu diaspora nakes di China yaitu Evan pun menceritakan pengalamannya saat bersekolah master maupun “fellowship” dokter spesialis. Evan mendapatkan gelar sarjana kedokteran dari Universitas Sam Ratulangi Manado, S2 di Chongqing University (2009-2012) dan saat ini sedang menjalani program “fellowship” dokter spesialis bidang aritmia di Fuwai Hospital, Beijing.
“Saya sedang ‘clinical fellow’ di Fuwai Hospital, dan dapat dikatakan jumlah pasien di sini mengerikan karena per hari di sini bisa 40-50 pasien baru, jadi saya masuk pukul 08.00 dan baru selesai pukul 23.00,” kata Evan.
Ia pun mengaku sudah dipercaya oleh profesor pengawasnya untuk menangani pasien secara langsung, apalagi karena jumlah pasien yang cukup banyak.
“Kalau ditanya apakah saya ingin balik ke Indonesia atau tidak, tentu saya ingin balik, tapi pengalaman di sini juga sangat berharga,” ungkap Evan. (ant/bil/iss)