Sabtu, 23 November 2024

Kemenag: Pondok Pesantren di Kediri Tempat Santri Meninggal Dianiaya Tidak Berizin

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Mohammad As’adul Anam Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jatim saat di Kediri, Selasa (27/2/2024). Foto: Istimewa Mohammad As’adul Anam Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jatim saat di Kediri, Selasa (27/2/2024). Foto: Istimewa

Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur menyatakan Pondok Pesantren PPTQ Al Hanifiyyah Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri tidak berizin.

Pihak Kemenag buka suara setelah menindaklanjuti kasus penganiayaan terhadap seorang santri asal Banyuwangi yang dianiaya oleh 4 santri hingga meninggal dunia.

Mohammad As’adul Anam Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jawa Timur menyebut, sejak beraktivitas 2014 lalu, pondok pesantren itu tidak memiliki izin operasional.

“Kami sampaikan bahwa, TKP (tempat kejadian perkara) kejadian itu ada di Pondok Pesantren Al Hanifiyyah, bukan di Al Ishlahiyyah, tetapi korban juga belajar di MTS Sunan Kalijogo di Pondok Pesantren Al Ishlahiyyah,” kata Anam dikonfirmasi awak media di Kediri, Selasa (27/2/2024).

Total ada 93 santri dan santriwati yang menempuh pendidikan di sana.

“Keberadaan ponpes tersebut (Pondok Pesantren PPTQ Al Hanifiyyah) belum memiliki izin pesantren. Santri 74 putri dan 19 putra dan kegiatan ponpes dimulai 2014,” imbuhnya.

Ia menyayangkan kejadian penganiayaan ini, Anam juga menyerahkan penanganan kasus sesuai proses hukum yang berlaku.

Namun secara administrasi, lanjutnya, Kemenag tidak berwenang memberikan hukuman atau sanksi terhadap pesantren pimpinan Fatihunada itu.

“Kita akan menghormati proses hukum, artinya bahwa lembaga tersebut bukan tidak menjadi kewenangan kami, tetap kita pantau, tapi proses hukum ini menjadi bagian terintegrasi bahwa penyelesaian itu sampai di sana,” jelasnya lagi.

Termasuk kemungkinan menutup pesantren, Anam menyebut tidak bisa dilakukan karena sifat lembaga pesantren adalah non formal bukan didirikan pemerintah.

“Kalau (penutupan) pesantren, karena pesantren ini rata-rata adalah tidak ada yang didirikan pemerintah, didirikan kiai dan merupakan cita-cita kiai. Jadi misal dicabut izinnya itu, kegiatan tetap ada karena sifatnya informal atau non formal,” lanjutnya.

Anam menjelaskan, kebijakan itu sudah sesuai keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur bahwa belajar ilmu agama merupakan wajib.

Sementara perbedaan berizin dan tidak, ada pada akses bantuan. Bagi yang tidak berizin, maka tidak bisa mengakses bantuan dari pemerintah, termasuk program-program pendidikan lainnya.

“Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur kita tidak bisa menutup pesantren, kenapa, karena tujuan orang belajar mencari ilmu agama itu fardu ain. Oleh karena itu kemudian dijadikan sebagai pertimbangan atau landasan untuk menentukan hukum bahwa pesantren tidak bisa ditutup. Kalau izin operasional bisa dicabut kalau ada tapi inikan tidak ada,” terangnya.

Untuk antisipasi kejadian serupa, Kemenag Kanwil Jawa Timur sudah menjalankan beberapa program.

Mulai dari sosialisasi pesantren ramah santri atau ramah anak bersama RMI PWNU Jawa Timur sejak 2022, bekerja sama dengan DPRD Jawa Timur, melakukan pelatihan satgas pesantren ramah santri atau anak di tujuh wilayah kerja atau 840 pesantren, dan bekerja sama dengan Unicef terkait penanganan kekerasan fisik dan seksual di Jawa Timur.

Diberitakan sebelumnya, Polres Kediri Kota menetapkan empat santri sebagai tersangka penganiayaan korban inisial BBM (14 tahun) asal Banyuwangi.

Keempat tersangka adalah MN (18) asal Sidoarjo, MA (18) asal Nganjuk, AF (16) Denpasar, dan AK (17) Kota Surabaya teman sesama santri yang juga kakak kelas korban dalam menempuh pendidikan di MTS.

Motif sementara, diduga berawal dari kesalahpahaman yang berujung penganiayaan berulang hingga korban meninggal. (lta/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs