Metode pembayaran parkir dengan sisten non-tunai atau QRIS di Kota Surabaya rencana mulai diberlakukan per 1 Februari 2024 mendatang. Namun, penerapan metode itu masih mengundang penolakan dari paguyuban juru parkir (jukir).
Menanggapi hal ini, Tundjung Iswandaru Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Surabaya kembali menegaskan kalau metode pembayaran pakai QRIS tidak akan menghilangkan peran dan fungsi para jukir.
“Kayak di Tunjungan dan balai kota ada dua, (Pembayaran QRIS) ini ada yang ditempel di rambu, QRIS motor dan mobil, dan ada yang dikalungkan ke jukir sesuai dengan titiknya. Karena tiap titik beda QRIS-nya. Di titik yang katakanlah titik A, teridentifikasi bahwa si A ini yang jukirnya titik A, dan nanti(pembayaran) masuknya ke jukir si A,” jelasnya waktu mengudara di program Semanggi Suroboyo Radio Suara Surabaya, Jumat (19/1/2024).
“Jadi tidak benar itu, tidak menghilangkan (fungsi juru parkir),” sambungnya.
Untuk itu, lanjut Tundjung, pihaknya akan terus melakukan melakukan komunikasi dan konsolidasi. Apalagi menurutnya dari data resmi, ada 1370 titik parkir resmi yang tersebar di wilayah Kota Surabaya.
Dia juga mengungkapkan, penolakan selama ini hanya datang dari satu paguyuban saja, bukan banyak seperti yang sebelumnya sempat diberitakan. “Kalau beberapa paguyuban tidak, hanya satu aja (yang menolak),” jelasnya.
Menurut Kadishub, para jukir seharusnya tidak khawatir kehilangan lahan parkir, karena secara logika dengan sistem ini harusnya justru menambah pendapatan para jukir. Karena pembagian yang awalnya mereka hanya mendapat 20 persen, dinaikan jadi 35 persen.
“Jadi intinya gini, 35 persen itu untuk operasionalnya mereka (jukir) merasa kurang. Mereka menolak (QRIS) karena (merasa) tidak cukup pembagiannya. Yang mereka menolak (metode) pembayaran non tunai,” ujarnya.
Sementara M. Fikser Kepala Satpol PP Kota Surabaya dalam kesempatan yang sama menambahkan, pihaknya bersama dishub terus berupaya melakukan pendekatan, sosialisasi sekaligus penindakan terhadap parkir liar.
“Jadi itu (parkir liar) juga ada di pasar-pasar, taman, kita melakukan hal seperti itu (penindakan). Tapi tentunya tidak langsung, kita sosialisasi, ingatkan dan itu terus secara berkala, baru kalau tidak dihiraukan kita penindakan terakhir bawa ke tipiring (tindak pidana ringan),” ucapnya.
Untuk sosialisasi, Fikser yang juga mantan Kadiskominfo Surabaya itu menjelaskan sudah melakukan pendekatan seperti menemui para tokoh jukir, hingga pemilik/koordinator jukir.
“Upaya-upaya pendekatan persuasif itu kan harus terus dilakukan. Supaya ada pemahaman terkait dengan maksud dan tujuan yang ingin dilakukan pemerintah,” ucapnya.
Menurutnya, selain menambah pendapatan asli daerah (PAD) Kota Surabaya, sistem pembayaran non tunai akan memudahkan para jukir mengetahui pendapatan ril mereka sesuai data, yang selama ini memakai sistem setoran tunai.
“Tapi kita memang masih analisa, benang merah (permasalahan) ini di mana nih. Sebab kita (Pemkot) selain menambah nilai dari 20 ke 35 persen, juga ada hak-hak mereka (jukir) yang tidak dihilangkan di sana, bagi hasil juga ada. Ini yang sekarang masih dilakukan terus menerus,” jelasnya. (bil/ipg)