Senin, 25 November 2024

JPPI Persoalkan Penyediaan Alat Kontrasepsi di Sekolah: Kontradiktif dan Rusak Moral 

Laporan oleh Wildan Pratama
Bagikan
Ilustrasi alat kontrasepsi. Foto: Pixabay

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mempersoalkan kebijakan Joko Widodo Presiden RI yang meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang Undang Kesehatan 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Pasalnya dalam PP No.28 Tahun 2024 tersebut diatur mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja. Tepatnya, di pasal 103, khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi.

Ubaid Koordinator Nasional JPPI menyatakan, pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat. Menurutnya peraturan tersebut tidak partisipatif tanpa melibatkan publik dalam pembahasannya.

“Daripada kontradiktif dengan tatanan sosial di sekolah dan juga merusak moralitas anak-anak, sebaiknya aturan ini dicabut dan didiskusikan kembali dengan melibatkan partisipasi yang lebih luas,” ujar Ubaid dalam keterangan yang diterima, Selasa (6/8/2024).

Ubaid mengungkapkan, saat ini Indonesia menghadapi kondisi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak.

Menurut data National Centre for Missing Exploited Children (NCMEC), lanjut Ubaid, kasus konten pornografi pada anak di Indonesia merupakan yang terbanyak keempat di dunia, dan peringkat dua skala Asia Tenggara.

“Di tengah situasi yang semacam ini, mestinya pemerintah perlu memperkuat pendidikan seksual dan juga pengembangan penyuluhan kesehatan reproduksi pada anak di sekolah, daripada penyediaan alat kontrasepsi,” tutur Ubaid.

Ubaidilah menyebut, kebijakan penyediaan alat kontrasepsi di sekolah tidak sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyebut usia menikah minimal 19 tahun.

“Ini harus digarisbawahi, age of consent harus mengikuti usia sah menikah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yaitu 19 tahun. Jadi, penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah harus ditolak karena lebih banyak mengundang bahaya, bahkan tidak ada manfaatnya,” pungkas Ubaid.

Karena itu, terkati dengan polemik ini, JPPI menyatakan sikap:

1. Cabut PP 28/2024 karena merusak masa depan anak. Peraturan ini jelas merusak masa depan anak-anak Indonesia. Jika dipaksakan, mereka kian akan terpapar kekerasan seksual dan juga pornografi di lembaga pendidikan. Selain itu, aturan ini juga dibuat diam-diam dan tidak melibatkan public secara luas. Padahal, beleid ini sangat terkait hajat hidup orang banyak, terutama orang tua dan anak-anak usia sekolah.

2. Tolak penyediaan alat kontrasepsi pada anak di sekolah. Yang mereka butuhkan adalah edukasi pendidikan kesehatan reproduksi, bukan kebutuhan alat kontrasepsi. Penyediaan alat kontrasepsi yang salah tempat, berakibat pada banyaknya kasus penyalahgunaan alat kontrasepsi pada anak, yang berujung pada jebakan kasus kekerasan pada anak.

3. Penguatan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. Anak usia sekolah harus fokus pada proses pendidikan reproduksi di sekolah, bukan malah melakukan kegiatan aktif penggunaan alat kontrasepsi. Sebab, anak usia sekolah, belum dianggap sah untuk memberikan persetujuan seksual (age of consent).

Sementara itu, Siti Nadia Tarmizi Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI menyatakan, bahwa pengadaan alat kontrasepsi di sekolah tidak ditujukan untuk semua remaja.

Remaja yang menjadi sasaran dalam aturan ini adalah mereka yang menikah dengan kondisi tertentu guna menunda kehamilan. Nadia mengatakan, inisiatif peraturan ini dilakukan karena masih banyaknya perkawinan di usia anak dan remaja.

“Ini ditujukan pemberian kontrasepsi bagi remaja yang menikah tapi menunda kehamilan sampai siap secara fisik dan psikis,” ujar Nadia dalam keterangannya di Jakarta.(wld/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
26o
Kurs