Angga Prawadika Aji Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) menyoroti fenomena masyarakat yang lebih percaya influencer daripada pakar atau ahli-ahli di berbagai bidang keilmuan.
“Berbagai disiplin ilmu kini seringkali terkalahkan oleh informasi yang lebih populer dan sensasional, khususnya di media sosial,” katanya dalam keterangan yang diterima, Sabtu (9/11/2024).
Ia menyebut, fenomena itu sebagai the death of expertise atau matinya kepakaran. Hal tersebut menurutnya sangat mengkhawatirkan. Ada dua faktor utama yang mendorong era post truth saat ini, yaini perkembangan politik dan popularitas media sosial.
“Keduanya mendefinisikan bagaimana post-truth menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya adalah apa yang disebut dengan matinya kepakaran,” tuturnya.
Ia melihat bahwa zaman sekarang, media sosial memberikan panggung besar bagi semua orang. Tidak peduli apakah mereka memiliki keahlian di bidang tertentu atau tidak.
Seperti kata Umberto Eco seorang ahli semiotika, jelas dia, media sosial kini menjadi sumber masalah besar. Orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas, tidak memiliki expertise kemudian suaranya memiliki bobot yang sama dengan orang yang selama bertahun-tahun memiliki dasar ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dampak dari hal tersebut, masyarakat jadi sering menilai bahwa kebenaran informasi itu berdasarkan jumlah likes, views atau popularitas daripada berbasis riset atau fakta.
“Fenomena ini bukan hanya mengaburkan batas antara fakta dan opini, tetapi juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan di tengah masyarakat,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan soal fenomena Echo Chamber, yakni kondisi di mana masyarakat ketergantungan dengan sosok-sosok populer, seperti influencer untuk menafsirkan informasi yang mereka terima.
Ia menjelaskan, echo chamber terjadi ketika masyarakat hanya mau mengonsumsi informasi yang sesuai dengan keyakinannya saja dan secara aktif menolak informasi apa pun yang berlawanan.
“Ketika masyarakat belum memiliki literasi digital yang cukup, mereka cenderung mempercayai sumber informasi yang sudah familiar, tanpa mempertimbangkan validitas atau kapabilitas sumber tersebut,” katanya.
Kurangnya literasi dan kemampuan berpikir, lanjut dia, membuat masyarakat Indonesia mudah termakan misinformasi dan berita bombastis yang datang dari figur terkenal.
“Jika kita tidak segera memperbaiki literasi masyarakat, kita akan menghadapi generasi yang sulit membedakan antara opini populer dan fakta yang valid. Pada akhirnya, ini bisa mengarah pada pembodohan massal. Di mana hanya popularitas yang dipandang sebagai ukuran kebenaran,” pungkasnya.(ris/iss)