Penggunaan kecerdasan buatan (AI) meningkat pesat dalam satu tahun terakhir, termasuk di kalangan penerbit yang tergabung dalam Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
AI digunakan dalam berbagai aspek, seperti penyuntingan, penandaan otomatis, pengisi suara, hingga pembuatan avatar.
Andy Budiman CEO KG Media menyatakan bahwa salah satu tugas media adalah mencerahkan peradaban.
“Oleh karena itu, media harus berdamai dan beradaptasi dengan perubahan,” ujarnya dalam diskusi Indonesia Digital Conference (IDC) 2024 di Jakarta pada Rabu (28/8/2024).
Andy menambahkan bahwa adopsi AI akan terus meluas dan menjadi keniscayaan, dengan nilai tambah media bergantung pada originalitas dan relevansi konten.
Namun, ia juga menyoroti ketimpangan antara platform media sosial dan perusahaan media, di mana konten berita sering tersebar tanpa dampak finansial bagi penerbit, sementara iklan lebih banyak mengalir ke platform.
Ia juga menyoroti tanggung jawab atas konten yang berbeda antara platform dan media. Jika ada pelanggaran hukum, platform sosial meletakkan tanggung jawab pada pengguna, sementara media harus bertanggung jawab atas konten yang diterbitkan. Platform seperti Kompasiana, misalnya, menghadirkan konten yang diproduksi oleh pengguna.
Lebih lanjut, AI sering kali menghilangkan hak penerbit dengan tidak mencantumkan sumber asli.
Andy mencontohkan survei Kompas yang kerap dikutip media lain dengan menyebut sumber, namun AI seperti ChatGPT tidak selalu mencantumkan sumbernya.
“Padahal, kami menghabiskan ratusan juta rupiah untuk riset tersebut,” ujarnya.
Irene Jay Liu Director AI Emerging Tech and Regulation di The International Fund for Public Interest Media (IFPIM), menekankan pentingnya regulasi untuk melindungi penerbit.
“Gugatan hukum di AS dan regulasi di Eropa memungkinkan penolakan terhadap pemrosesan data pribadi, dan di Uni Eropa, GDPR sudah diberlakukan,” jelasnya.
Irene juga menyebutkan bahwa penerbit harus dapat memblokir platform AI dari mengindeks situs mereka.
“Kontrol web Google tidak memblokir konten untuk ringkasan AI. Cara satu-satunya adalah menghapus indeks dari pencarian,” ujarnya.
Untuk menghadapi tantangan ini, Irene menyarankan agar penerbit tetap waspada dan tidak panik.
“Pantau pembaruan dari pengembang, gunakan alat yang tersedia untuk mengontrol penggunaan konten Anda, dan fokus pada hubungan langsung dengan audiens,” katanya.
Sementara itu, Ika Idris Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub, menambahkan bahwa AI sangat bergantung pada data dari publisher.
“Kebutuhan data AI tumbuh sangat cepat dan masif, mencapai triliunan data,” ujarnya. (saf/ipg)