Komitmen pemerintah memberantas korupsi kembali jadi sorotan, seiring wacana Prabowo Subianto Presiden yang beberapa waktu lalu menyatakan bakal memberi kesempatan para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan hasil curiannya kepada negara.
Salah satu sorotan datang dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menilai kalau wacana Kepala Negara untuk memberikan grasi kepada para pencuri uang negara itu sifatnya politis, dan dikhawatirkan bakal tidak transparan.
“Jadi memang kalau sebagai dasar hukum, ada kewenangan atau otoritasnya Presiden untuk memberikan grasi atau amnesti, misalnya untuk terpidana dalam kasus tertentu. Namun memang dalam praktiknya, karena ini hak prerogatif Presiden, sebebas dan semaunya Presiden gitu ya, memang ada isu soal kurangnya transparansi dan akuntabilitas pada umumnya,” ujar Iftitah Sari peneliti ICJR dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (23/12/2024).
Tita sapaan akrabnya menambahkan, tidak ada aturan atau standar baku mengenai siapa saja yang berhak mendapat grasi atau amnesti. Sehingga ada potensi perlakuan yang berbeda kepada para terpidana dalam konteks yang sama. Hal ini menurutnya berisiko menimbulkan ketidakadilan.
“Jadi kita nggak punya aturan pakemnya atau standar bakunya, untuk siapa saja, standarnya apa, dan tentu akibatnya, selain tadi tidak transparan, prosesnya juga tidak akuntabel, selain itu risiko untuk diskriminatif juga menjadi tinggi. Mungkin nanti ada perlakuan-perlakuan berbeda kepada beberapa terpidana dalam konteks yang sama, tapi treatment-nya beda,” lanjutnya.
Sebelumnya, wacana memaafkan para koruptor itu disampaikan Prabowo di hadapan para mahasiswa di Kairo, Mesir, dalam sela-sela kunjungan kenegaraan untuk menghadiri KTT D-8, Rabu (18/12/2024) lalu.
Pada kesempatan itu, Presiden RI bahkan mengatakan kalau pengembalian uang korupsi bisa dilakukan dengan cara diam-diam supaya tidak ketahuan publik.
“Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kami maafkan. Tetapi, kembalikan dong. Nanti kami beri kesempatan cara mengembalikannya,” ujar Prabowo kala itu.
Menanggapi pernyataan Kepala Negara itu, Tita kemudian menyoroti mekanisme pengembalian aset dalam kasus tindak pidana korupsi yang menurutnya selama ini belum optimal. Kata dia, selama ini proses penyitaan dan pengelolaan aset koruptor belum jelas dan tidak efektif.
“Memang ada mekanisme yang belum efektif, belum optimal, untuk negara kita bisa mengambil secara maksimal uang yang sudah dinikmati atau diambil oleh si pelaku tindak pidana korupsi ini. Ada penyitaan yang penghitungannya masih belum clear, kemudian bagaimana pengelolaan aset-aset yang disita supaya maksimal value-nya itu,” kata Iftitah.
Peneliti ICJR itu menegaskan, prioritas dalam penegakan hukum kasus korupsi seharusnya memastikan pengembalian uang negara, daripada fokus pada hukuman yang berat bagi pelaku.
“Yang lebih efektif sebetulnya kalau dari pandangan ICJR kami melihat ya itu memaksimalkan, mengoptimalkan asset recovery, pengembalian dana, dan tracing atau pelacakannya udah sampai sejauh mana kemudian mengejar beneficial ownernya, aktor intelektualnya. Karena kalau tipikor (tindak pidana korupsi) kan tidak cuma satu dua orang pemain, itu bisa jaringan, ini yang jarang dikejar,” ucapnya.
Dalam standar internasional, dia menjelaskan kalau negara-negara dengan indeks persepsi korupsi yang lebih baik fokus memang pada pengembalian aset daripada menghukum berat pelaku korupsi. Banyak negara lain, hukuman mati atau hukuman yang berat-berat tidak selalu menjadi solusi untuk menekan korupsi.
“Di negara-negara lain juga mereka mengefektifkan terus penegakan hukum itu di negara-negara yang best practices di indeks pemberantasan korupsi ya, yang tipikornya rendah, indeks persepsi korupsinya bagus. Dan di Eropa misalnya mereka juga tidak punya pidana mati misalnya atau pidana-pidana yang berat gitu kepada pelaku, tapi memaksimalkan proses penyitaan, perampasan aset, dan sebagainya, itu diperkuat,” ungkapnya.
Iftitah juga menyampaikan bahwa proses pengampunan ini harus diiringi dengan reformasi sistem penegakan hukum yang lebih kuat, khususnya terkait penyitaan dan perampasan aset hasil korupsi.
“Kita harus memperbaiki mekanisme penegakan hukum, terutama dalam hal penyitaan dan perampasan aset koruptor, agar bisa benar-benar efektif dalam mengembalikan uang negara,” pungkasnya. (bil/ham)