Ichsanuddin Noorsy pengamat politik ekonomi Indonesia merilis buku terbarunya yang bertajuk “Prahara Bangsa”, yang menyoroti tentang inkonsistensi teori dan paradigma dalam amandemen 1945.
Perilisan sekaligus bedah buku “Prahara Bangsa” digelar di Graha Kadin Jatim, Selasa (17/12/2024).
Pria yang akrab disapa Noorsy itu mengungkapkan dalam bukunya, kekacauan yang dialami Indonesia saat ini adalah buah dari amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan sejak era reformasi tahun 1999 hingga 2002.
Mantan wartawan era 80-an itu mengatakan, amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali itu telah mengakibatkan terjadinya krisis ideologi dalam berkonstitusi, berdasar dari identifikasi, inventarisasi, dan dokumentasi atas fenomena krisis yang terjadi hingga kini.
Salah satu pasal yang dia soroti adalah pasal 33 ayat 4, yang mengatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dengan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
“Saya menelusuri pasal tersebut. Saya bertemu beberapa tokoh, saya juga menemukan makin banyak hal. Makin ke dalam saya temukan makin banyaknya inkonsistensi konsepsi teori dan paradigma di UU yang sudah diamandemen selama empat kali itu,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Noorsy juga mengkritisi perilaku politik di Indonesia. Dia menganggap partai politik gagal memainkan perannya dalam proses kaderisasi.
Noorsy menjadikan pasal 6A ayat 2 dalam UUD 1945 yang menyatakan pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh satu partai politik atau gabungan partai politik sebelum pemilihan umum berlangsung, sementara pemilihan umum berlangsung secara luber jurdil.
“Maka di situ masalahnya. Kenapa hanya satu atau beberapa partai politik. Kenapa di situ muncul sebelum pemilu,” katanya.
Dia kemudian mencontohkan ketika PDI Perjuangan memecat Joko Widodo dari partai. Sementara dalam pernyataan pemecatannya, tidak disertakan nomor keanggotaan Jokowi.
“Artinya apa, berarti dia bukan anggota partai. Kalau bukan anggota partai, bagaimana bisa PDI mengusulkan dia sebagai presiden. Ini yang kemudian menjadi dampak yakni, manajemen keanggotaan dan manajemen partai gagal. Ini artinya peran partai politik gagal sebab sumber kekayaan terbesar partai politik adalah sumber daya manusianya,” jelasnya.
Dalam bedah buku tersebut hadir pula beberapa narasumber yang memberikan pendapatnya terkait isi buku “Prahara Bangsa”.
Salah satunya adalah Prof Daniel M Rasyid Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Dia mengungkapkan bahwa politik adalah bahaya besar.
“Tiba-tiba partai politik muncul sebagai satu-satunya yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden,” katanya.
Kemunculan partai politik ini, kata Daniel, mengakibatkan terjadinya monopoli politik yang kemudian membuat high cost politik.
“Saya kira ini adalah sumber kerusakan dan korupsi. Korupsi agar investasi dan logistik politik kembali. Terutama fenomena pilpres. Oleh kawan fisipol, diakui sebagai pencapaian puncak kemenangan civil society pada otoritarianisme Orba,” tuturnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dr Radian Salman Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga (Unair) bahwa apa yang diperoleh dari reformasi adalah prahara, buahnya adalah petaka.
“Prahara itu dimulai dari amandemen UUD 1945. Konsensus itu akhirnya hilang, sehingga pemilu itu menjadi pencapaian yang besar. Seolah-olah fair dalam pemilihan tetapi kenyataannya tidak. Demokrasi kita hari ini tidak menghasilkan keseimbangan dalam parlemen karena tidak ada oposisi,” pungkasnya.(kir/kev/ipg)