Jumat, 22 November 2024

Hari Pejalan Kaki Nasional, Pegiat Sebut Masih Banyak Hak-Hak yang Dilanggar dan Tak Terpenuhi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi pejalan kaki di Kota Surabaya. Foto: Dok/ suarasurabaya.net

Peringatan Hari Pejalan Kaki Nasional setiap tanggal 22 Januari di Indonesia masih memiliki banyak catatan, khususnya soal hak-hak para pejalan kaki yang sering dilanggar, maupun tidak dipenuhi.

Anita Silvia Inisiator Kelompok Belajar Mobilitas Pejalan Kaki mengatakan, hak pejalan kaki adalah hak asasi manusia khususnya untuk mobilitas, tak terkecuali Kota Surabaya. Menurutnya, memenuhi hak pejalan kaki tidak melulu soal penyediaan infrastruktur oleh pemerintah.

“Jadi perlu sekali melampaui hanya sekedar infastruktur itu sendiri, bagaimana juga dukungan dari pemerintah dan juga banyak pihak untuk membuat pejalan kaki menjadi bagian dari Kota Surabaya,” ujarnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Senin (22/1/2024).

Kata Anita, kondisinya saat ini sangat jauh bagi pejalan kaki bisa memperoleh hak-haknya, terutama untuk fasilitas yang disediakan pemerintah atau dukungan masyarakat itu sendiri.

Dia menyontohkan trotoar yang saat ini dibangun pemerintah, tidak semuanya manfaatnya bisa dirasakan dan mendukung mobilitas masyarakat, karena tidak terhubung dengan sarana transportasi umum maupun tempat tinggal.

“Jadi seperti trotoar itu terlepas dari area hidupnya warga. Kita lihat trotoar-trotoar ini terletak di jalan-jalan besar, dan itu tidak terhubung dengan mobilitas warga tersebut. Jadi tidak menyeluruh, hanya parsial saja, tidak bisa continue untuk mendukung mobilitas warga,” ucapnya.

Oleh karenanya, lanjut Anita, jika pemerintah hanya fokus membangun trotoar tapi tidak memiliki sistem transportasi publik maka akan sama saja.

Dia menyebut minat warga untuk mobilitas dengan berjalan kaki di Surabaya sendiri sebenarnya cukup tinggi. Tapi banyak sekali halangan, salah satunya yakni keinginan terus menerus warga Surabaya untuk memiliki kendaraan bermotor.

“Surabaya adalah kota yang berpusat pada kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor, sepeda motor aja sama seperti jumlah penduduk kota Surabaya. Jadi, halangannya itu sangat banyak untuk mendukung atau membuat warga Surabaya untuk berjalan kaki,” ucapnya.

Sementara dari sisi rasa keamanan, kata Anita, tentu juga perlu jadi catatan bagi warga yang hidup di kota besar. Apalagi, begitu keluar dari lingkungan tempat tinggalnya, biasanya langsung disambut dengan jalan raya besar dengan mobilitas kendaraan yang padat.

Demikian dengan keamanan pejalan kaki di Surabaya, menurut Anita, masih kurang aman. Dia kembali mencontohkan di Surabaya Utara tempatnya tinggal, baru dibuat satu titik zebra cross di depan Taman Sejarah, tepatnya di Jalan Taman Jayengrono, Krembangan.

Padahal di jalan tersebut, hanya berlaku satu arah atau one way traffic, di mana pengguna jalan cenderung memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.

“Itu meskipun tadi dibuat zebra cross tentu saja itu sangat tidak aman bagi pejalan kaki. Kenapa? Karena jalan satu arah cenderung mendorong si pengemudinya untuk tinggi kecepatannya,” jelasnya.

Terkait data Korlantas Polri soal maraknya pejalan kaki terlibat kecelakaan karena menyebrang jalan secara sembarangan, Anita mengatakan berdasarkan Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ), pejalan kaki memang diperbolehkan menyeberang jika tidak ada fasilitas pendukung seperti zebra cross maupun jembatan penyeberangan orang (JPO).

“Jadi kenapa banyak yang nyebrang sembarangan tadi? Karena menyeberang pun sangat susah, kita harus naik JPO atau berjalan lebih dari 100 meter lagi untuk mencapai zebra cross, belum lagi zebra cross tidak aman. Dan bagaimana perilaku pengendara ini (kadang) sangat tidak mendahulukan pejalan kaki, mereka akan menyalakan klakson, dan segala macam, bagaimana attitude-nya dari pengendara ini juga kita perlu pertanyakan,” ucapnya.

Untuk itu, dia bersama Kelompok Belajar Mobilitas Pejalan Kaki mengkritisi dan mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan pada Undang-Undang LLAJ, supaya tidak hanya berpihak kepada pengguna kendaraan, namun juga pejalan kaki.

“Iya, harus berubah. Dan juga harus mendukung si pejalan kaki ini lebih. Karena kenyataan di Indonesia itu tetap pengendara menjadi pemilik hak yang paling tinggi ketimbang si pejalan kaki. Itu kenyataannya di Indonesia,” pungkasnya. (bil/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs