Hari menjelang senja. Suasana rumah berpagar besi cat hijau yang dihuni tiga perempuan di kawasan Surabaya Timur itu tampak sepi.
Julitta (55), salah satu penghuninya sedang duduk santai di teras.
“Masuk, Mbak. Di dalam sumuk (panas). Kita di teras aja ya,” katanya yang beranjak menyambut kedatanganku, Jumat (1/11/2024).
Julitta adalah bungsu dari enam bersaudara. Kini, dia tinggal bersama ibu yang lanjut usia dan kakak perempuannya.
Dia memilih menghabiskan hari-harinya untuk merawat sang ibu, Elisabeth Roem (85). Ia sosok yang tegar dan menerima keadaan dengan rasa syukur. Dari wajahnya, selalu mengembang senyuman.
Julitta pernah mengenyam status sebagai ‘wanita karir’ selama 20 tahun. Dia memiliki jabatan lumayan tinggi di perusahaan swasta terkenal di negeri ini. Namun, pada 2018, hidupnya berubah. Dia memilih mengambil pesangon dari pada harus menerima tawaran pindah ke Jakarta.
Sejak saat itu dia lebih banyak di rumah, menghabiskan waktu bersama Elisabeth Roem, mamanya yang sudah renta. Dari kesehariannya itu, Julitta akhirnya semakin tahu bahwa mamanya kini sudah banyak berubah baik kekuatan fisik maupun tingkah lakunya, dibandingkan beberapa tahun lalu. Mamanya jadi lebih perasa, mudah marah, bahkan hanya karena hal sepele.
“Perubahan perilaku (mama) luar biasa. Salah sedikit, marah, nangis. Lalu bilang, sudah lebih baik aku mati saja. Perasaan. Apa-apa lupa. Kalau menaruh barang berharga disembunyikan, lalu bilang hilang. Beli barang, padahal di rumah barang itu masih banyak. Tiap hari berantem,” ucapnya, berkisah.
Perilaku Elisabeth Roem selalu menyulut emosi dan memicu pertengkaran. Hal itu dinilai tidak wajar. Kala itu Julitta ikut mengantar Elisabeth periksa ke dokter saraf untuk keluhan lututnya. Di sana, ia sembari menanyakan gejala perubahan sikap mamanya.
Selain menderita osteoporosis, dokter juga mendiagnosis Elisabeth Roem demensia alzheimer, yakni gangguan pada otak yang memengaruhi memori, pikiran, perilaku atau emosinya. Untuk penanganan lebih lanjut akhirnya Elisabeth Roem dirujuk ke RSUD Dr Soetomo Surabaya.
Sejak saat itu, mengantar dan menanti mamanya berobat, sudah menjadi rutinitas Julitta sebulan sekali.
Tidak ada masalah baginya, kecuali jarak cukup jauh, sekitar 8,6 kilometer yang harus ditempuh untuk kontrol dan berobat ke RSUD Dr Soetomo. Belum lagi, antrean di rumah sakit rujukan untuk wilayah Indonesia bagian Timur milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini panjang, sehingga sering kali memicu emosi mamanya memuncak. Berangkat dari rumah jam 08.00 WIB, pulang baru jam 14.00 WIB.
Sementara dua rumah sakit milik Pemerintah Kota Surabaya, lebih jauh lagi. RSUD dr. Mohamad Soewandhie di Surabaya Pusat berjarak 11 kilometer dari rumah Julitta. Sedangkan RSUD Bhakti Dharma Husada di Surabaya Barat justru lebih jauh lagi, 22 kilometer.
Selain jarak, banyaknya pengeluaran juga jadi alasan bagi perempuan yang sekarang kebutuhan kesehariannya mengandalkan uang pesangon itu. Meski biaya pengobatan mamanya, ditanggung swadaya enam bersaudara.
Berpindah-pindah rumah sakit swasta jadi pilihan terakhirnya, asal dekat dengan rumah. Dia berusaha mencari layanan dokter saraf ke beberapa rumah sakit terdekat.
Kisah KSH Kesulitan Cari RS Untuk Selamatkan Ibu Hamil
Kesulitan menjangkau rumah sakit juga pernah dirasakan Kader Surabaya Hebat (KSH) di area timur. KSH Rungkut Kidul, Tasmi, mengisahkan penyelamatan Ny. Dwi, ibu hamil sesak napas di kampungnya pada 2021.
Kala itu, nyaris semua rumah sakit penuh merawat pasien positif Covid-19. Dwi yang ketika itu sedang hamil tua, tiba-tiba sesak napas. Bahkan janinnya juga sempat tidak bergerak. Warga sekitar ikut panik.
Sejumlah KSH berlarian mengambil tabung oksigen milik bersama di Balai RW setempat untuk dibawa ke rumah Dwi. Mereka bahu-membahu berusaha agar Dwi segera mendapat penanganan medis. Tapi, puluhan rumah sakit, semuanya menolak, karena kepenuhan pasien.
Akhirnya, tak ada pilihan lain kecuali berangkat ke Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) di Jalan Pucang Adi yang cukup jauh, berjarak 7,5 kilometer dari Rungkut. Sambil memakai alat bantu pernapasan Dwi diangkut menggunakan mobil online, karena mobil ambulans pun tak tersedia.
Saat tiba di rumah sakit, pasien masih harus menunggu beberapa jam untuk satu bed kosong di IGD. “Kita (KSH) berangkat jam 16.00 WIB, di sana (rumah sakit) habis Isya baru dapat (bed) IGD,” ujar Tasmi, mengenang.
Penantian itu terbayar lega, ketika Dwi selamat beserta janinnya. Beberapa hari setelahnya, anaknya lahir selamat.
Solusi Layanan Kesehatan Masyarakat
Tasmi dan Julitta kini merasa lega. Pemkot Surabaya berusaha menghadirkan layanan kesehatan semakin dekat dengan masyarakat.
Tasmi berharap kisah memilukan saat menolong ibu hamil yang mengalami sesak napas, tinggal kenangan. RSUD milik Pemkot Surabaya yang kini dibangun dapat menjadi solusi, khususnya untuk warga di kawasan Surabaya Timur.
Dengan demikian, KSH setempat tidak perlu lagi menempuh jarak yang jauh hanya untuk mengantar warga saat situasi darurat. KSH tidak perlu waktu lama untuk menjangkau layanan RSUD di Surabaya Timur itu.
Julitta juga sangat lega. Sejak pembangunan RSUD di Surabaya Timur yang hanya berjarak sekitar 4 kilometer dari rumahnya, dia sudah membayangkan kemudahan layanan untuk mamanya yang harus rutin kontrol kesehatan.
Julitta sangat berharap rumah sakit milik Pemkot Surabaya itu nantinya juga mempunyai pelayanan geriatri untuk demensia alzheimer. Apalagi jika pengobatan bisa menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang berfokus pada penanganan, diagnosis, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan yang menyerang kalangan lansia. Geriatri berasal dari bahasa Yunani, geron yang berarti orang tua, dan teria yang artinya penanganan terhadap penyakit.
Meski pengobatan ini tak akan menyembuhkan sepenuhnya mamanya, Elisabeth Roem, tapi paling tidak mampu membuat orang tuanya mengontrol emosi. “Ada bedanya, kalau minum obat mama jadi lebih fokus, jadi bisa diajak ngobrol. Bisa diajak aktivitas berkebun, mewarnai, dan lainnya,” tuturnya.
Julitta ingin berinteraksi lebih banyak sebelum memori ingatan mamanya hilang perlahan. Berkat obat, mamanya masih bisa mengingat meski seringnya lupa.
“Fasenya mama sudah menengah. Kalau anak jarang ke sini, lupa. Cucu juga lupa. Kadang kalau habis marah-marah, tiba-tiba lupa aku. Aku cuma memeluk dan mengelus mama biar tenang,” ucapnya, sambil mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya.
Merata untuk Warga Surabaya
Seperti diketahui, RSUD Surabaya Timur dibangun di lokasi yang sangat strategis, di Jalan Medokan Asri Tengah, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya, atau hanya berjarak 260 meter dari jalan raya utama, Jalan Dr. Ir. H. Soekarno. Rumah sakit ini dibangun dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surabaya sebesar Rp494,6 miliar.
RSUD Surabaya Timur yang kini bernama RSUD Eka Candrarini dibangun di atas lahan 37.592 meter persegi, dengan luas bangunan 17.700 meter persegi. Tempat layanan kesehatan ini memiliki dua tower, masing-masing terdiri delapan lantai, serta mampu menampung hingga 311 bed pasien. Rumah sakit ini direncanakan mulai beroperasi November 2024 secara bertahap.
Bangunan megah yang dirancang penuh jendela dan pintu kaca itu kini telah berdiri. Aktivitas proyek yang masih ada juga selesai sebentar lagi.
Sesuai target yang direncanakan Wali Kota Surabaya periode 2021-2024, Eri Cahyadi, pengerjaan proyek RSUD Eka Candrarini di Surabaya Timur dikebut selama setahun. Ini terhitung sejak dimulainya proyek pada 5 Oktober 2023 lalu.
Alasan paling mendasar pembangunan rumah sakit itu bagi Eri Cahyadi adalah agar fasilitas kesehatan merata untuk seluruh warga Surabaya.
“Yang pasti warga Surabaya kalau berobat tidak cuma terfokus ke RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) dan RSUD Dr. Mohamad Soewandhie. Ada pilihan RS Surabaya Timur. Ada satu lagi impian saya di Surabaya Selatan. Jadi biar terpecah ada RS di semua sisi kota,” tutur Eri mengutarakan mimpinya saat penancapan tiang pancang pertama kala itu.
RSUD baru ini akan lebih fokus melayani pasien ibu dan anak. Bahkan telah disiapkan ruangan khusus untuk korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Untuk mengawal penuntasan pekerjaan dan mengawali operasional RSUD Eka Candrarini, Eri Cahyadi telah menitipkan kepada Penjabat Sementara Wali Kota Surabaya, Restu Novi Widiani.
“Pekerjaan rumah sakit, pelebaran Jalan Wiyung, Saluran Diversi Gunungsari, Radial Road, Jalan di MERR menuju Novotel Samator, pelebaran udah jadi belokannya kurang, saya minta tambah lagi. Itu diteruskan Bu Pj,” pesannya di hari terakhir kerja sebelum cuti selama kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, Selasa (24/10/2024).
Hasil inspeksi mendadak (sidak) terakhir Restu bersama jajaran dinas pemkot 18 Oktober lalu, penyempurnaan rumah sakit masih berjalan. Sebelum operasional bertahap mulai November ini.
“Saya juga melihat beberapa sarana prasarana sudah mulai ditata dan disiapkan. Artinya, semua berbarengan, mulai dari penyelesaian bangunan fisik, sarana, prasarana, dan juga SDM yang direkrut. Semuanya sudah sesuai, dan ketika selesai, akan berbarengan,” tutur Restu Novi Widiani.
Sebelum pembangunan fisik hampir selesai, Pemkot Surabaya sudah merancang Sumber Daya Manusia (SDM) yang dibutuhkan maupun persiapan alat medisnya. Pemenuhan SDM dilakukan melalui tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2024 mulai Mei lalu.
“Perekrutan nanti lewat CPNS sekitar 640 orang, di antaranya untuk kebutuhan dokter spesialis, dokter umum, serta tenaga perawat,” jelas Febria Rachmanita Asisten Administrasi Umum Pemkot Surabaya.
Percepatan kesiapan pemkot itu diapresiasi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, Arif Fathoni. RSUD Eka Candrarini akan sangat membantu memotong rantai antrean dua rumah sakit pemkot yang sudah ada. Setidaknya memfasilitasi wilayah sekitar.
“Bisa menjangkau Bulak, Mulyorejo, Sukolilo, Gunung Anyar, Rungkut, dan Wonocolo. Ini penting banget setidaknya pemkot hadir ketika ujian (sakit) yang dialami warga datang,” katanya.
Pelayanan untuk ibu dan anak, diharapkan semakin menguatkan niat pemkot untuk penanganan stunting yang sejauh ini sudah komprehensif dari hulu ke hilir. Gedung pelayanan ibu dan anak yang berbeda dengan pelayanan umum, akan menjadi identitas rujukan pasien datang.
Selain bermanfaat bagi pasien, pembangunan RSUD Eka Candrarini, diharapkan juga menimbulkan perputaran ekonomi lebih baik di area sekitar. Kegiatan usaha akan ramai, parkir, warung kopi, tempat makan, dan lainnya.
Arif Fathoni mendukung rencana Eri Cahyadi dan Armuji jika kembali menjabat Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang akan membangun rumah sakit di dua zona lagi, Surabaya Utara dan Surabaya Selatan.
“Lebih idealnya kebutuhan rumah sakit di lima zona terpenuhi semua. Meski rumah sakit swasta sudah banyak, kehadiran RSUD tetap penting karena APBD Surabaya di atas Rp10 triliun. Tugas pemerintah, menuntaskan layanan dasar,” tegasnya. (lta/ipg)