Adjie Pamungkas Guru Besar Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, mencetuskan model perencanaan kota berbasis risiko yang siap menghadapi bencana.
Ia mengatakan, salah satu faktor kunci penentu keberlanjutan sebuah kota adalah bagaimana kesiapan dalam menghadapi sebuah bencana.
“Gagasan ini muncul setelah bencana terbesar di Indonesia, saat tsunami Aceh 2004 lalu itu menyadarkan bahwa parameter bencana masih diabaikan dalam proses perencanaan wilayah kota. Padahal, dampaknya tidak saja mengganggu kenyamanan, tapi juga rasa aman,” katanya dalam keterangan, Rabu (3/2/2024).
Dalam penerapan model perencanaan berbasis risiko itu, langkah pertama yang dilakukan adalah menambahkan unsur kebencanaan secara spesifik pada setiap bagian materi rencana tata ruang. Di antaranya yakni, penggunaan data dan analisis bencana yang komprehensif, penentuan kebijakan pro ketahanan kota, hingga penyediaan infrastruktur pengurangan risiko dan infrastruktur kedaruratan.
Lebih lanjut, salah satu penerapan kebijakan yang pro ketahanan kota, wujudnya dapat berupa regulasi mengenai utilitas pendukung bangunan kompleks untuk membantu bangunan sederhana melewati masa kedaruratan.
“Implementasinya bisa dengan penambahan volume cadangan air pada gedung hotel, sehingga dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar saat kondisi darurat,” tuturnya.
Infrastruktur pengurangan risiko dan infrastruktur kedaruratan yang berhasil ia kembangkan adalah Sistem Informasi Darurat Gempa (SIGAP). Situs buatannya itu, dapat mendeteksi sumber infrastruktur kedaruratan, memonitor kondisi, ketersediaan, dan proses perpindahan dari sumber penyedia menuju korban bencana.
“Sehingga, proses penyediaan infrastruktur kedaruratan menjadi lebih efektif dan efisien,” ucapnya.
Setelah merencanakan kota dengan sistem dan perencanaan berbasis risiko yang baik, langkah selanjutnya adalah menyiapkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Yakni, dapat ditingkatkan melalui pelatihan untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan penanganan kebencanaan. Yang dalam hal ini, menurutnya, Pemerintah wajib memprioritaskan kelompok yang rentan saat terjadi bencana, salah satunya penyandang disabilitas.
Ia berharap, hasil riset yang telah ia lakukan itu bisa bermanfaat untuk ditransformasikan ke dalam kebijakan, regulasi, maupun praktik yang berlaku di lapangan.
“Dengan demikian, kota-kota di Indonesia akan memiliki ketahanan dan keberlanjutan,” pungkasnya.(ris/saf/ipg)