Jumat, 22 November 2024

Elemen Masyarakat Sipil Surabaya Menolak Pengesahan RUU Penyiaran

Laporan oleh Wildan Pratama
Bagikan
Suasana konsolidasi penolakan RUU Penyiaran di Kantor KontraS Surabaya, Selasa (22/5/2024) malam. Foto: Dok. Aji Surabaya

Gelombang protes dan penolakan terhadap revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran mulai menjamur. Kali ini datang dari elemen masyarakat di Koya Surabaya yang terdiri dari terdiri dari jurnalis, mahasiswa, konten kreator, seniman hingga aktivis hak asasi manusia (HAM).

Elemen masyarakat di Kota Surabaya itu mulai melakukan konsolidasi untuk menolak RUU Penyiaran, pada Selasa (21/5/2024) kemarin.

Eben Haezer Ketua AJI Surabaya mengatakan, konsolidasi ini digagas oleh Komite Advokasi Jurnalis Jawa Timur yang beranggotakan AJI, Kontras dan LBH lentera.

Melalui forum konsolidasi ini, mereka ingin menggali masukan dan respon dari elemen lain terkait RUU Penyiaran. Sesudah menggelar konsolidasi, Eben menyatakan bahwa ada prosedur yang salah dalam pembentukan RUU Penyiaran.

“Kami ingin menggali masukan dan pendapat mereka, terkait RUU Penyiaran. Dalam diskusi kali ini, kami sepakat bahwa ada prosedur yang salah dalam pembentukan RUU Penyiaran,” ujar Eben di Surabaya, Rabu (22/5/2024).

Ketua AJI Surabaya itu menyatakan, terdapat pasal-pasal di dalam RUU penyiaran yang tidak sesuai prinsip dengan kemerdekaan pers. Salah satunya pada pasal 50b ayat 2c yang melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi.

“Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Eben.

Eben menjelaskan, dalam UU Pers 40 Tahun 1999 sudah diatur bahwa kerja pers dilindungi oleh UU. Maka RUU Penyiaran ini dianggap bertentangan dengan prinsip tersebut.

Masih kata Eben, larangan untuk menanyangkan produk jurnalisme investigasi ini berpotensi membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi.

“Ini juga melanggar kepentingan publik, karena haknya publik untuk tahu adalah hak asasi manusia, dan tugas itu amanah itu dititipkan kepada jurnalis,“ katanya.

Meski pihaknya tegas menolak RUU Penyiaran ini, bukan berarti mereka membenarkan UU Penyiaran Nomor 23 Tahun 2002.

“Masih ada masalah iya (UU Penyiaran), tapi kami menganggap itu harus dikaji ulang dari awal dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna,” kata Eben.

Eben menegaskan, DPR RI harusnya lebih transparan dalam merancang RUU Penyiaran dan turut melibatkan publik sebelum penyusunannya.

“Harus kembali lagi ke awal, don transparan dalam merumuskan pasal-pasal, melibatkan publik sehingga kemudian enggak sampai muncul pasal-pasal yang berpotensi melanggar kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi,” tuturnya.

Senada dengan Eben, Falentinus Hartayan Ketua IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) Korda Surabaya yang hadir pada forum konsolidasi itu mengatakan, RUU Penyiaran yang sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini sebaiknya tak buru-buru untuk disahkan.

“IJTI sendiri menilai, jangan terburu-buru RUU penyiaran ini menjadi undang-undang, karena ada banyak atau ada beberapa poin pasal-pasal yang kontroversial dan bermasalah,” kata Falen.

Menurutnya, terdapat potensi tumpang tindih fungsi dalam dalam RUU ini. Yakni dalam Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengeketa jurnalistik penyiaran.

“Di pasal itu KPI bisa menangani sengketa, itu bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers, yang di mana fungsi dari Dewan Pers menyelesaikan sengeketa pers. Jadi di sini ada tumpang tindih,” ujar dia.

Sementara itu, Fathul Khoir Koordinator Kontras Surabaya mengatakan, RUU memiliki indikasi untuk membungkap demokrasi Indonesia, serta memberangus kemerdekaan pers dan membungkam kebebasan berpendapat.

“Dalam diskusi tadi ada beberapa poin penting. Salah satunya bahwa RUU ini ada indikasi untuk membungkam demokrasi dan kebebasan berekspresi,” kata Fatkhul.

Dengan begitu, lanjut Fatkhul, semua produk dari pelaku budaya, kesenian, atau konten kreator yang muncul dalam platform-platform digital akan diawasi dan diatur oleh KPI.

Serta harus tunduk pada larangan yang sangat normatif dan berpotensi memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi.

“Ini kan rentan kemudian dipakai penguasa sebagai alat untuk melakukan sensor terhadap lembaga penyiaran atau konten digital,” jelasnya.

Untuk diketahui, elemen masyarakat yang hadir dalam konsolidasi di Surabaya pada Selasa malam kemari, antara lain adalah AJI Surabaya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Surabaya, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Kemudian Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, LBH Surabaya, Aksi Kamisan, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), lalu akademisi, seniman, konten kreator dan elemen masyarakat sipil lainnya. (wld/bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs