Sidang kabinet yang dipimpin Joko Widodo Presiden pada Senin (25/2/2024) lalu disebut ikut membahas program unggulan dari Prabowo Subianto capres nomor urut 2, yakni makan siang gratis.
Banyak sorotan soal kabar ini termasuk pembicaraan dilakukan meskipun penetapan hasil suara dari KPU belum tuntas. Pembicaraan soal program itu diungkap beberapa menteri Presiden.
Anggaran makan siang gratis yang sudah masuk dalam pembicaraan APBN 2025 senilai Rp 15.000 untuk setiap anak di Indonesia. Anggaran itu akan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Tapi belum bisa mengungkap total besaran anggaran yang disiapkan dalam APBN 2025, karena pembicaraan detailnya belum ada. Disebut Rp 15.000 per anak itu di luar program susu gratis. Sementara menunya diserahkan ke masing-masing daerah.
Sri Mulyani Menteri Keuangan menyampaikan, program makan siang gratis baru akan dihitung sebulan ke depan dalam penganggaran APBN 2025. Sebab, KPU masih menghitung suara hasil Pemilu 2024.
Menanggapi hal itu, Gigih Prihantono pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair) menjelaskan bahwa program makan siang gratis bagian dari proses penurunan stunting.
Masalahnya berdasarkan hasil riset, pola makan kebanyakan masyarakat Indonesia belum menunjukkan makanan yang memiliki gizi seimbang. Berdasarkan study, untuk mencapai pola makan gizi seimbang itu membutuhkan biaya Rp13 ribu hingga Rp15 ribu per anak.
“Proporsi penduduk yang mampu membeli itu hanya 40 sampai 50 persen. Artinya, 50 persen anak usia sekolah itu tidak mampu membeli pola makan gizi seimbang yang continue setiap hari,” katanya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya pada Rabu (28/2/2024) pagi.
Gigih menyebut bahwa program ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak 2021. Tujuannya untuk menurunkan stunting agar anak sekolah bisa mencapai pola makan gizi seimbang.
“Sudah muncul (sejak 2021). Tapi kenapa tidak dieksekusi? Karena masalahnya adalah ketika itu kita pasti proses recovery dari Covid-19. APBN 2022 dan 2023 juga baru recovery. Baru pada 2024 ini kita mulai menanjak pascapandemi Covid-19,” ujarnya.
Terkait pernyataan Sri Mulyani bahwa program ini akan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit 2,8 persen, Gigih menyebut hal itu sangat mungkin. Ia menilai bahwa program ini memang cukup mahal.
Akan tetapi, problemnya adalah eksekusi di lapangan. Pemerintah diminta memastikan program pola makan gizi seimbang ini benar-benar tepat pasaran untuk bisa menurunkan stunting yang ada di Indonesia. Terutama bagi anak yang berasal dari keluarga miskin.
“Problem kita dari dulu adalah kevalidan data. Pertanyaannya, apakah data pemerintah daerah itu sudah benar-benar valid terkait anak pemerima program makan siang gratis ini. Kan tidak semua anak dapat. Hanya anak yang terindikasi stunting dan dari keluarga miskin. Oleh karena itu, harus ada watchdog yang ikut mengawasi agar program ini tepat sasaran,” jabar Gigih.
Ia juga menyarankan pemerintah menyediakan dashboard atau mungkin digitalisasi di mana masyarakat bisa melihat bahwa program makan siang gratis ini memang tepat sasaran.
Selain itu, pemerintah juga diminta menu makan siang gratis sesuai dengan standar gizi. Jika sajiannya tidak standar, Gigih khawatir program makan siang gratis yang awalnya merupakan program yang baik, ternyata saat dieksekusi menyebabkan alergi massal atau masalah yang lain.
“Harus betul-betul diperhatikan terkait dengan gizi dan aspek-aspek alergi dan lainnya saat mengeksekusi program ini,” ucap Gigih.
“Apakah (program ini) akan berhasil atau tidak, ada banyak faktor. Ada yang berhasil dan ada yang tidak. Problemnya ada di perencanaan, penganggaran, dan eksekusinya. Masyarakat perlu memonitor mulai dari perencanaan hingga eksekusi. Jadi governance dari pengelolaan program ini menjadi kunci keberhasilan untuk Indonesia bisa menurunkan stunting,” jelasnya. (saf/ipg)