Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyorot Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait industri tembakau yang dianggap tidak sesuai dengan aturan yang disusun dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Firman Subagyo Anggota Badan Legislasi DPR menilai, aturan ketat yang tertulis dalam RPMK dapat menciptakan ekosistem yang tidak kondusif, bahkan berpotensi mematikan industri.
Maka dari itu, dia berharap penyusunan RPMK harus melibatkan para pemangku kepentingan.
Dalam RPMK, ada beberapa ketentuan yang berpotensi merugikan industri, seperti pasal mengenai desain kemasan polos, pembatasan iklan dan promosi, hingga sensor produk tembakau di berbagai platform yang dinilai berlebihan.
“Aturan itu harusnya tidak ada diskriminasi, memenuhi rasa keadilan, transparan, dan menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya. Oleh karena itu, bicara terkait diskriminatif, apakah PP yang dibuat pemerintah dan aturan turunan sekarang diskriminatif atau tidak? Jelas diskriminatif. Ada harkat hidup orang banyak, tenaga kerja, pendapatan negara. Ini melanggar HAM, mudah-mudahan didengarkan pemerintah,” ujarnya di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Sejak aturan turunan UU 17/2023 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, industri tembakau terus menyuarakan penolakan demi mempertahankan keberlangsungan industri, utamanya di tengah situasi ekonomi yang masih bergejolak dengan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai industri lainnya.
Hadirnya RPMK yang terbilang cukup singkat jangka waktu penyusunannya sejak PP Nomor 28 Tahun 2024 disahkan pada akhir Juli lalu, membuktikan berbagai masukan yang telah diberikan tidak dijadikan pertimbangan dalam menyusun kerangka implementasi aturan di lapangan.
Daniel Johan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI pun melihat regulasi itu belum melalui kajian mendalam yang melibatkan industri, akademisi, serikat, dan masyarakat umum.
Tanpa keterlibatan berbagai unsur masyarakat, regulasi yang ada berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi bagi pemangku kepentingan, seperti petani tembakau, pekerja industri, hingga industri kreatif yang juga bergantung pada iklan tembakau.
“Aturan harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang luas. Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu penyumbang utama pendapatan negara, yang akan berdampak pada negara. Saya memahami kekhawatiran industri, maka kebijakan ini perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan lapangan kerja,” ucapnya.
Melihat banyaknya industri yang bersinggungan, termasuk dampak ekonomi yang juga akan terjadi, Rahmad Handoyo Anggota Komisi IX DPR RI menyebut perlunya keseimbangan antara upaya kesehatan, kepentingan industri, dan hak konsumen agar tidak saling berbentrokan.
Keseimbangan itu penting dan harus dijaga, agar kebijakan kesehatan tidak berbenturan dengan kepentingan ekonomi dan hak konsumen.
Di tempat yang sama, Benny Wahyudi Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyatakan apa yang tertuang dari aturan tersebut menunjukkan aturan memang tidak dirumuskan dengan mempertimbangkan pemangku kepentingan lainnya.
“Misalnya pada PP Kesehatan tidak mengatur terkait standardisasi kesehatan, hanya terkait PHW. Namun, kenapa di RPMK muncul pasal standardisasi kemasan ini? Kami menyatakan keberatan terkait pasal tersebut. Ini bisa berdampak ekonomi, hingga investasi. Ini yang harus kita jaga agar peraturan yang baru tidak menimbulkan masalah baru,” tegasnya.
Senada, Roy Nicholas Mandey Ketua Umum Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo) mengutarakan, regulasi kesehatan yang terlalu ketat seperti itu berpotensi mengintervensi sektor ekonomi dan hiburan secara berlebihan.
Padahal, pengaturan yang mempertimbangkan dampaknya bagi seluruh pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Seluruh asosiasi terkait telah sepakat menolak PP Nomor 28 tahun 2024 dan RPMK.
“Kami sebagai pelaku usaha yang berkontribusi dalam pajak, tenaga kerja, konsumsi rumah tangga, ini perlu dilihat secara menyeluruh. Harus dianalisa dulu, kalau aturan dikeluarkan dengan maksud tujuan menimbulkan polemik, kemudian nanti dicabut atau direvisi melalui revisi uji materi, untuk apa? Di sini kami hanya mengungkapkan, banyak pasal karet, ada ketidaksesuaian dengan realitas di lapangan,” ucapnya.(rid)