Senin, 25 November 2024

Demo di Depan Grahadi, Koalisi Masyarakat dan Pers Surabaya Tolak RUU Penyiaran

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Eben Haezer Panca Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya (depan) berorasi dalam demo menolak RUU Penyiaran di depan Gedung Negara Grahadi, Selasa (28/5/2024). Foto: AJI Surabaya

Puluhan massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Pers (KOMPRES) Tolak RUU Penyiaran Surabaya, demo di depan Gedung Negara Grahadi Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Selasa (28/5/2024). Mereka melakukan aksi damai menolak semua pasal pembungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di RUU Penyiaran.

Seperti diketahui, DPR RI akan membahas revisi RUU Penyiaran pada Rabu (29 Mei 2024). Pasal-pasal tersebut dinilai akan membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi.

“Revisi Undang-Undang Penyiaran ini mengandung sejumlah ketentuan yang dapat digunakan untuk mengontrol dan menghambat kerja jurnalistik. Beberapa pasal bahkan mengandung ancaman pidana bagi jurnalis dan media yang memberitakan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan pihak tertentu. Ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi yang telah kita perjuangkan bersama,” ujar Suryanto Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya dalam keterangannya.

Demo menolak RUU Penyiaran oleh puluhan massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompres) di depan Gedung Negara Grahadi, Selasa (28/5/2024). Foto: AJI Surabaya

Menurutnya, pasal-pasal bermasalah dalam revisi ini memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatur konten media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draf pasal 8A huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2.

Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancangan sejumlah pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.

Disamping itu adanya ancaman pidana bagi jurnalis yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi jurnalis.

“Untuk itu kami menuntut DPR RI segera menghentikan pembahasan Revisi Undang-undang Penyiaran yang mengandung pasal-pasal bermasalah ini. Serta harus melibatkan organisasi pers, akademisi, dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi,” tegasnya.

Sementara itu, Eben Haezer Panca Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, juga mengungkapkan dalam RUU Penyiaran ini, independensi media terancam.

“Revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf pasal 51E,” jelas Eben.

Munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif. Seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya

“Kami menuntut dan menyerukan memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Menyerukan agar seluruh insan pers, pekerja kreatif dan pegiat media sosial di Surabaya khususnya, untuk turut serta menolak RUU Penyiaran ini,” jelasnya.

“Kami percaya bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu, kami akan terus mengawal proses legislasi ini dan siap melakukan aksi massa lanjutan jika tuntutan kami tidak dipenuhi,” pungkas Eben.

Lebih lanjut, Fatkhul Khoir Koordinator Kontras Surabaya mengatakan pihaknya menduga RUU Penyiaran ini bakal jadi alat pemerintah untuk melemahkan praktik demokrasi di Indonesia.

“Revisi UU Penyiaran ini kami menduga bahwa ini adalah upaya dari rezim Jokowi di akhir periodenya sengaja memberikan kado buruk untuk membungkam praktik demokrasi di Indonesia,” kata Fatkhul.

RUU Penyiaran, kata dia, patut diduga menjadi upaya pemerintah untuk membangkitkan semangat Orde Baru. Misalnya dengan pasal yang dengan jelas melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi, dan sejumlah pasal lainnya.

“Kalau dulu Orde Baru menggunakan militer dan aparatur keamanan sebagai alat untuk membungkam. Nah, hari ini metode berubah dengan kemudian membatasi ruang gerak melalui undang-undang,” ucap dia.

Ia juga menduga RUU Penyiaran bakal jadi alat penguasa untuk melanggengkan upaya-upaya impunitas terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.

“Jadi dengan adanya revisi UU Penyiaran ini yang kemudian isinya melarang jurnalisme investigasi dan sebagainya, ini kan upaya-upaya agar masyarakat tidak kritis terhadap pemerintah,” pungkasnya.

Maka itu, Koalisi Masyarakat dan Pers (KOMPERS) Tolak RUU Penyiaran menyatakan sikap:

  • Tolak pembahasan RUU Penyiaran yang berlangsung saat ini karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik;
  • Mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi, upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia;
  • Mendesak DPR untuk melibatkan partisipasi publik yang bermakna, dalam penyusunan revisi UU Penyiaran untuk memastikan tidak ada pasal-pasal multitafsir yang dapat dipakai untuk mengebiri kemerdekaan pers, memberangus kebebasan berpendapat, serta menjamin keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat;
  • Membuka ruang ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya. Penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran harus melibatkan Dewan Pers dan seluruh konstituennya agar tidak terjadi pembiasan nilai-nilai kemerdekaan pers;
  • Mendorong jurnalis untuk bekerja secara profesional dan menjalankan fungsinya sesuai kode etik, untuk memenuhi hak-hak publik atas informasi;
  • Menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers. Agar tidak ada pengaturan yang tumpang tindih terkait kemerdekaan pers.

Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompres) Tolak RUU Penyiaran Surabaya terdiri dari:

  • Perwarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya
  • Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya
  • Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jatim
  • KontraS Surabaya
  • LBH Lentera
  • LBH Surabaya
  • Aksi Kamisan Surabaya
  • PPMI DK Surabaya
  • Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). (bil/ham)
Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
31o
Kurs