Tuti Budi Rahayu Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga (Unair) menyebut cancel culture menjadi salah satu cara masyarakat dalam menegakkan norma kebenaran.
Hal ini berkaitan dengan petisi yang muncul di kalangan masyarakat, setelah video Miftah Maulana mengejek pedagang es teh hingga seniman, viral di media sosial.
Tuti menjelaskan, cancel culture adalah sikap masyarakat yang paling sosiologis.
“Artinya masyarakat ini sungguh-sungguh dalam menjalankan kontrol atau pengawasan sosial, ketika ada seseorang atau tokoh masyarakat yang dianggap tidak berperilaku sesuai norma dan nilai,” terangnya kepada suarasurabaya.net, Senin (9/12/2024).
Sebetulnya, lanjut Tuti, cancel culture adalah hal yang umum terjadi di Indonesia. Terutama pada masyarakat yang lebih intim, seperti di pedesaan atau wilayah yang relasi dan interaksi sosial warganya sangat erat.
“Model cancel culture ini biasanya diterapkan dengan rasan-rasan, mengucilkan, membawa orang yang melanggar itu ke tokoh masyarakat untuk dapat hukuman adat, dan sebagainya,” ungkap Tuti.
Menurutnya, model kontrol sosial semacam itu dinilai murang efektif lagi pada masa kini. Karena, konstruksi masyarakat sudah berubah menjadi masyarakat jaringan (netizen).
“Sehingga, kontrol sosial yang dilakukan saat ini melalui media sosial. Dalam kasus ini mungkin seperti penandatangan petisi, mengungkap jejak digital, hingga penggalangan massa, sebagai bentuk keprihatinan dan penegakan kontrol sosial,” jelasnya.
Tuti menambahkan, masyarakat akan menggunakan berbagai cara, termasuk cancel culture, untuk menegakkan nilai dan norma-norma kebenaran.
“Meskipun jika nanti ada beberapa pihak, termasuk pemerintah, yang berusaha melindungi pelaku ‘penyimpangan’. Mereka lama-lama juga akan gerah mendapat serangan masyarakat,” katanya.
Tuti percaya bahwa masyarakat memiliki mekanisme tersendiri untuk menegakkan nilai dan norma sosial. (kir/saf/ipg)