Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menekankan perlunya mengurangi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan kandungan sulfur tinggi di Indonesia untuk memperbaiki kualitas udara.
Dwi Budi Sutrisno Sekretaris Utama BMKG menjelaskan, emisi gas buang kendaraan adalah salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca.
Banyak kendaraan menggunakan BBM bersulfur tinggi, yang jauh di atas standar global 50 ppm. Di Indonesia, BBM seperti Pertalite, Pertamax, dan Solar mengandung sulfur sekitar 500 ppm.
Data dari BPH Migas hingga April 2024 menunjukkan bahwa konsumsi BBM Pertalite mencapai 10 juta kiloliter, sementara Solar Subsidi sudah mencapai 2,57 juta kiloliter, melebihi kuota yang ditargetkan hingga akhir tahun.
“500 ppm itu tinggi. Bagaimana itu tidak mempengaruhi hidup kita, terutama di Jakarta yang padat dan sering macet?” kata Dwi Budi, dilansir dari Antara pada Rabu (16/10/2024).
Ia menambahkan bahwa Indonesia memiliki jenis bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, seperti Pertamax Turbo dan Pertadex yang mengandung sulfur 50 ppm, tetapi penggunaannya masih sedikit karena alasan ekonomi.
“Memang berat menggunakan BBM berkualitas tinggi untuk lingkungan. Namun, manfaatnya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan jauh lebih besar,” jelasnya.
Jakarta menjadi contoh nyata dampak buruk kualitas udara terhadap kesehatan. Indeks kualitas udara di Jakarta saat ini mencapai 178, dengan PM 2.5 sebagai polutan utama.
Dengan pertumbuhan kendaraan yang mencapai 9 persen per tahun, Dwi Budi menyebutkan kerugian kesehatan akibat kualitas udara buruk di ibu kota mencapai Rp60 triliun per tahun. Jika ditambah kerugian operasional kendaraan, totalnya bisa mencapai Rp100 triliun. (ant/saf/iss)